Salam..
Ermm.. lama x blogging.. x de citer sendiri yg nak di citer kan kot... so kali ni, lain sket la.. nak post satu novel yg penah aku bace thn lps... Semalam Di Malaysia tajuknyer.. citer ni pasal anak Aceh yg diam di Malaysia ni dan ade la kaitan kot ngan perjuangan GAM nak merdekakan Aceh dari Indonesia.
Sbnrnye, rase saje2 nak post ni sbb abg asnawi tanye dah bace ke belum citer ni.. dia send satu copy kat aku.. so, aku pikir bleh la wat penghias blog aku kali ni.. so layankan la.. hehe.. baca slow2 la ek..
Wassalam..
*File2 kat section download nmpknye dah ilang kene delete.. sape2 nak request ape2, sile la yer..
################################
Semalam di Malaysia
Oleh
Yusda
PENERBIT PT ASLI
JALAN KUALA TARI
ATJÈH SUMATRA
1999
Sepatah kata dari pengarang
SEMALAM DI MALAYSIA mengambil tempat di Kuala Lumpur pada suatu malam tahun 1991. Pelakun utamanya, Zainal, yang berasal dari Atjèh telah menetap di Malaysia selama 13 tahun, kawin dengan gadis Melayu dan dikurniai dua orang putri. Dia telah pun berjaya di negeri barunya ini.
Pada suatu malam, dengan tidak disangka-sangka, telah tiba teman sekampungnya, Mustafa. Mustafa sudah dua kali keluar-masuk penjara Indonesia dan menjalani berbagai-bagai siksaan karena pengbabitannya dalam Gerakan Atjèh Merdeka (GAM). Dan pengalamannya dalam penjara telah membawa bekas yang kekal dalam hidupnya.
Zainal dan Mustafa bukan saja kawan karib sewaktu muda-muda di kampung, tetapi keduanya juga pernah jatuh cinta kepada gadis Nurmala - teman sekelas mereka. Nurmala memilih Zainal sebagai calon suaminya, tetapi akhirnya ia ditakdirkan menjadi isteri Mustafa.
Semalam bersama Mustafa di Malaysia, Zainal telah dihadapkan dengan masa mudanya di Atjèh, dan masa sekarang dimana kebiadaban serdadu Indonesia telah melampaui batas-batas kemanusiaan. Kenangan dan masa silamnya yang telah sekian lama terpendam, kini muncul kembali ke permukaan. Pertemuan mereka yang berlangsung satu malam penuh itu telah membuat perubahan yang radikal pada diri Zainal. Bagaimana kesudahannya? Sila ikuti sendiri!
BAGIAN PERTAMA
Jam menunjukkan pukul empat setengah petang. Langit cerah. Matahari masih panas menyengat; angin bertiup manja dan lembut. Tidak ada tanda-tanda hujan akan segera turun. Zainal biasanya menggunakan masa-masa luang begini untuk beristirahat, apalagi ia harus bangun pagi-pagi tiap hari untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang pengusaha kecil. Tetapi sejak beberapa bulan yang lalu, waktu-waktu senggang ini ia gunakan seluruhnya untuk membaca, membaca dan hanya membaca.
Sekarang ia sedang duduk dipekarangan rumahnya, mempelajari kitab-kitab dokumen yang baru didapati dari kawannya di Kuala lumpur tadi pagi. Dokumen-dokumen berkenaan terdiri dari majallah, guntingan daripada surat-surat khabar luar negeri, dan pernyataan pernyataan atau komuniké yang berkaitan dengan Gerakan Atjèh Merdeka (GAM). Tidak jauh dari situ, dua anak kecil sedang bermain-main, berlari kian kemari, ketawa terkikik-kikik. Kedua anak perempuan kecil yang kebetulan kembar itu baru masuk usia lima tahun minggu yang lepas. Mereka itu adalah putri-putrinya Zainal yang sedang duduk dan membaca dibawah pohon rambutan yang rindang itu. Perhatian dan pandangan Zainal kini terarah ke suatu jurusan, dimana putri-putrinya sedang bermain berkejar kejaran. Hatinya terasa lega, bibirnya tersenyum lebar, dan matanya yang sudah lelah itu kembali bersinar ketika mengamati anak-anaknya yang berkulit putih dan berwajah molek itu. Zainal meneruskan bacaannya sesaat kemudian, tetapi riuhan dan pekikan mereka telah memaksa ia menutup bukunya. Dan, sebagai pengganti, ia mengambil sebatang rokok dari saku bajunya dan menyalakannya. Asapnya dihembus ke atas kuat-kuat - sedikit sekali yang melewati tenggorokannya. Ia terus saja memperhatikan anak-anaknya dicelah-celah asap rokok yang bergumpal sampai-sampai pikirannya melayang, terjang diawang-awang, menuju ke suatu masa yang hampir dilupakannya - satu masa yang telah lama ia berusaha menguburkannya tapi tidak begitu berhasil. Itulah masa mudanya di kampung yang penuh dengan nostalgia dan tak pernah kunjung padam dalam ingatannya.
Tiba-tiba yang diperhatikannya itu, dalam perasaannya, bukan lagi anak-anaknya, tetapi telah menjelma menjadi adik-adik perempuannya yang ia tinggalkan di Atjèh sejak 13 tahun yang lalu. "Mungkin sekali dalam tubuhku ini," pikir Zainal, "masih mengalir sejenis darah yang orang Perancis mengatakan 'Bon sang ne peut mentir' - darah murni yang tidak dapat berdusta." Betapa tidak! Ketika Zainal berangkat dari Atjèh dulu kedua-dua adik perempuannya masih berusia masing-masing lima dan tujuh tahun. Ia tidak dapat membayangkan lagi bagaimana rupa mereka sekarang. Demikian juga sebaliknya, mereka tidak ada ingatan sama sekali terhadapabangnya - Zainal. Dulu memang pernah ada beberapa keping gambar keluarga yang disimpan di rumahnya, tetapi itu semua telah diambil ketika militer Indonesia menggeledah rumahnya. Satu hal yang paling lazim terjadi, kalau serdadu masuk rumah-rumah orang yang dicuriga bersimpati dengan Atjèh Merdeka, pertama sekali yang diambil adalah foto-foto keluarga. Sebab, kebanyakan serdadu yang ada di Atjéh adalah orang-orang dari luar - khasnya dari pulau Jawa. Mereka tidak kenal dengan penduduk setempat. Disamping dua saudari ini, Zainal juga mempunyai seorang adik laki-laki yang umurnya hanya tiga tahun selisih dengannya. Dialah yang sering menceritakan kepada adik-adik perempuannya tentang Zainal, tentang kelakuan dan sifat-sifatnya - baik yang terpuji maupun yang tak teruji. Ayah mereka, Pakeh Sabôn, yang biasa dipanggil dengan nama Teungku Pakeh saja, tidak banyak berbicara mengenai Zainal sejak kepergiannya dari kampung.
Teungku Pakeh ini orangnya tegas, dominan dan 'sekali kata'; umurnya sudah hampir 60 tahun, tetapi masih gagah perkasa, dan dikenal dikampungnya sebagai bravado - pemberani. Semua anak-anaknya dididik dengan penuh disiplin, dan ucapannya kerap kali menjadi undang-undang di dalam keluarga sederhana ini. Sekali dalam suasana makan malam bersama, mereka berbincang-bincang mengenai Zainal. "Alaah, itu tak perlu diungkit-ungkit lagi. Abang kalian kan sudah hampir 15 tahun menghilang, anggap saja sudah tak ada lagi!" ujar Teungku Pakeh dengan suara tinggi dan tegas. "Tapi, khabarnya, abang masih di Malaysia, ayah. Anak pak Raden yang baru balik dari sanakatanya sudah berjumpa dengan abang," sela putri yang lebih tua itu. "Habis, mau apa!" bentak Teungku Pakeh lagi. "Sudah hampir dua tahun abang kau tidak pernah kirim surat, dan surat dikirim pun tidak pernah dibalasnya." Semua diam. Semua membisu. Dan semua mata tertumpu kepada makanan di depan masing-masing. Begitulah keadaan di dalam keluarga ini kalau Teungku Pakeh mulai 'memainkan tongkatnya' - semua isi rumah seperti tikus-tikus di depan kucing. Teungku Pakeh memang tidak suka menyebut-nyebut nama Zainal, sebab, kepergiannya dari kampung dulu, yang oleh anggota keluarga dianggap kesalahan Teungku Pakeh sendiri: atas sikapnya yang tidak ada kompromi, dan atas kebijaksanaannya yang kurang bijaksana. Memang sudah dua kali, dalam tahun ini, Zainal menerima surat dari kampung, tapi tidak dibalasnya. Surat yang terakhir disobek-sobek sehabis dibaca. Besoknya, ketika menyadari dan menyesal atas tindakannya, ia berusaha mengumpulkan kembali sobekan-sobekan surat yang telah dibuang kedalam keranjang sampah untuk disatukan kembali. Tetapi usahanya itu gagal. Zainal berikhtiar mengalihkan pengamatannya kepada kenyataan bahwa yang diperhatikan sekarang adalah anak-anak kandungnya - bukan adik-adiknya dikampung. Namun usahanya itu bagaikan mimpi disiang hari - setengah tidur setengah jaga; pikirannya mundar-mandir saja antara anak-anaknya dan adik-adiknya, antara kampung halaman dan tempat tinggalnya sekarang. Akhirnya, ia bangun dari tempat duduk dan mengambil bagian dalam kegiatan anak-anaknya - satu hal yang jarang sekali ia lakukan. Tetapi ini hanya untuk melupakan kengauran dan kekacauan pikirannya saja. Telefon didalam kamar tamunya mendering. Isterinya, berdiri dipintu dengan baju dapur dan memegang barut kelapa ditangannya, memanggil Zainal. Zainal datang dan mengangkat gagang telefon. Ia diberitahu sahabat karibnya, Usman, tentang berita-berita baru yang terus berdatangan dari kampung. Usman menceritakan bahwa tadi pagi telah datang lagi tiga aktivis Atjèh Merdeka dari kampung.
Satu dari mereka dikenal sebagai pemimpin dari dalam dan paling dicari-cari oleh tentera Indonesia. Namanya Ramli, tentera luar, dan gambarnya telah biasatampil dalam media massa Indonesia. " Aku kenal baik dengan dia," sambung Usman lagi. "Kami sama-sama tinggal di Kongsi dulu di Singapore dan bekerja membangun Changi Airport." "Yang dua lagi itu siapa-siapa?" tanya Zainal ingin tahu. "Dari nama mereka saya tidak kenal. Mungkin saja orang-orang aktif didalam," jawab Usman. Lapuran Usman itu memang benar. Nama Ramli di Atjèh sudah melambung tinggi karena keberaniannya dalam menghadapi musuh yang lengkap dengan senjata. Dikalangan Atjèh Merdeka, Ramli sudah menjadi satu cause célèbre - satu perkara dan debat yang kontroversial. Sebab, namanya telah dibesar-besarkan oleh musuh untuk menyembunyikan kepada dunia pemimpin-pemimpin yang sebenar di belakang gerakan ini. Disamping itu, foto Ramli telah dimasukkan ke dalam daftar 'wanted list' - tangkap hidup atau mati - bersama dengan dua puluh lima anggota teras Atjèh Merdeka yang lain. Poster-poster yang bergambar mereka telah disebarluaskan oleh regime di seluruh Atjèh, khususnya di hampir semua terminal bus dan di tempat-tempat umum yang banyak dikunjungi orang.
BAGIAN KEDUA
Nanti malam ada pertemuan Atjèh Merdeka di Gombak, yang juga dipanggil dengan istilah 'Wirid Yasin', sebab, setiap pertemuan seperti ini selalu dimulai dengan membaca Yasin. Wirid Yasin ini diadakan tiap malam Jumat. Zainal dan Usman, dalam percakapan mereka dalam telefon, telah sepakat menghadiri acara tersebut. Isterinya yang dengan diam-diam mengikuti perbualanmereka tadi, berteriak dari dapur. "Jangan pula balik lambat nanti malam, bang! Kita ada mendapat jemputan ke rumah Pak Dolahbesok pagi. Kenduri perkawinan adiknya!" Isterinya yang setia, Rafiah, sudah mulai mencium gerak-gerik dan kelainan-kelainan yang ada pada suaminya belakangan ini; ia sudahpun tahu tentang adanya Gerakan Atjèh Merdeka, adanya pembunuhan massal di Atjèh, dan banyaknya kegiatan Atjèh Merdeka di Malaysia dan luar negeri. Dengan diam-diam, ia sering mengikuti perkembangan di Atjèh dengan membaca siaran-siaran Atjèh Merdeka dalam bahasa Melayu dan Inggeris, dan surat-surat khabar Melayu - meskipun yang ditulis itu tidak cantik. Kesemua ini telah membuat pikirannya risau, cemas, kalau-kalau suaminya sempat terbabit dalam perjuangan bersenjata ini; jangan-jangan suaminya akan kembali lagi ke Atjèh sebagaimana yang telah dilakukan oleh kebanyakan pemuda-pemuda Atjèh di Malaysia. Ketika Zainal menjejakkan kakinya di Tanah Melayu ini di awal tahun-tahun 80-an, orang-orang Atjèh disini masih dapat dihitung dengan jari-jari tangan kiri. Zainal dan beberapa orang kawannya yang tinggal di Lorong Enggang, Keramat, sering menghabiskan masanya di Dataran Merdeka dan sekitarnya selepas bekerja. Dataran Merdeka itu bukan saja tempat yang paling bersejarah buat Malaysia dimana Negara ini diproklamirkan disini tahun 1957 dengan pengibaran bendera di atas tiang yang hampir 100 meter tingginya, tetapi juga satu tempat yang paling bersejarah buat Zainal. Disinilah ia pertama kalinya berkenalan dengan gadis Rafiah yang kini telah menjadi isterinya dan dikurniakan dua orang putri yang cantik-cantik. Berbeda sekali dengan sahabatnya, Usman, yang masih bujang meski usianya sudah 45 tahun, Zainal mempunyai filosofinya sendiri dalam mencapai kejayaan hidup di rantau orang. Ia kerap kali bergurau dengan kawan-kawannya: "Usahlah pikir-pikir panjang! Ambil saja 'jalan potong'!" Yang dimaksud dengan 'jalan potong' disini yaitu mengawini penduduk tempatan (IC Biru) supaja lebih mudah dalam urusan kehidupan sehari-hari, seperti berjualan dan menyekolahkan anak-anak kelak. Dalam perjuangan Atjèh Merdeka ini, Zainal mempunyai latar belakang tersendiri. Pada pertengahan tahun-tahun 70-an, semasa di Atjèh dan masih menduduki bangku SMA (Sekolah Menengah Atas), ia telah terpengaruh dengan Gerakan Atjèh Merdeka, walaupun teori daripada Gerakan berkenaan dan seluk beluknya belum lagi dipahami. Karena darah mudanya yang panas dan semangat yang berapi-api, ia suka sekali mengedarkan 'selebaran gelap' Atjèh Merdeka dan menaikkan bendera Atjèh yang berbulan bintang di tiang-tiang telefon di pinggir jalan raya, didepan bangunan-bangunan pemerintah dan termasuk di rumah sekolahnya. Tidaklama kemudian, ia dan seorang sahabat karibnya, Mustafa, diringkus pihak berwajib dan meringkuk dalam Penjara Kedah, Banda Atjèh, selama satu tahun delapan bulan, setelah dipukul dan disiksa dengan berbagai-bagai siksaan.
Mustafa bukan sekadar teman karib atau taman sekampungnya saja, tetapi ia juga teman sekelas mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai SMA. Keluarga mereka adalah orang-orang Atjèh Merdeka tulen, yang tidak ragu-ragu mengeluarkan rencong dari dalam sarungnya kalau ada orang yang mencaci atau melecehkan Atjèh Merdeka. Sekali, ketika Teungku Pakeh dan Imum Ali, ayahnya Mustafa, sedang duduk-duduk minum kopi di sebuah warung di daerahnya, mereka mendengar seseorang berkata: "Apa itu selalu perang! Meyatimkan anak orang; membuat orang-orang perempuan menjadi janda!" Begitu habis mendengarnya, Teungku Pakeh langsung bangun dari duduknya seraya berteriak: "Hei, Ini kali terakhir aku mendengar kata-kata itu keluar dari mulutmu. Kalau tak mau ikut, jangan dicaci! Kau tahu apa akibat dan hukuman yang dijatuhkan ke atas pengkhianat-pengkhianat bangsa dalam peperangan di Atjèh di masa-masa lalu!" Semua yang ada di warung kopi diam mendengar suara Teungku Pakeh yang tinggi dan tegasitu. Dengan perasaan marah dan kesal, ia kembali ketempat duduknya. Tiba-tiba didengar lagi komat-komit atau ucapan yang tidak begitu terang dari jurusan yang sama. "Ah, perang ceukèh!" 'Perang ceukèh' adalah kebalikan dari 'prèh ceukang', dalam bahasa Atjèhnya bermakna 'menunggu mati konyol'. Dengan serta merta, Teungku Pakeh meloncat dari tempat duduknya sekali dengan rencong di tangan. Dengan rasa bengis sekali ia mengancam: "Habis kau hari ini! Habis kau hari ini! Habis kau hari ini…!" Imum Ali yang duduk paling dekat dengannya mencuba menghindari dan memegang tangan Teungku Pakeh sekuat-kuatnya, tetapi tidak berhasil. Melihat keadaan yang begitu meruncing, orang-orang lain turut juga membendungnya.
Semakin banyak orang terlibat, semakin bertambah garang Teungku Pakeh, ia meloncat-loncat terus dan bergelut sekuat tenaga untuk melepaskan dirinya dari genggaman orang banyak. Akhirnya, keadaan yang gawat itu dapat dipulihkan. Kendatipun rencong Teungku Pakeh itu sering keluar dari sarungnya, tapi ia tidak pernah mencederakan sesiapa. Sifatnya Teungku Pakeh memang begitu; ia suka memamerkan rencong pusakanya di depan orang banyak. Kalau berhadapan sendiri-sendiri - satu lawan satu - rencongnya tidak pernah dimainkan, sebab, tidak ada yang mengetengahkan nanti. Dari dulu-dulu lagi, ketika Zainal masih di Sekolah Menengah Pertama (SMP), keluarga mereka telah merancangkan kelak Zainal akan dijodohkan dengan anaknya Imum Ali - Fatmawati. Tetapi, Zainal dan Fatmawati yang belum dewasa itu tidak diberitahukan akan hal itu. Namun, hal ini baru diperkuatkan beberapa tahun kemudian ketika Zainal menduduki kelas dua SMA. Apa yang orang tua mereka tidak tahu, Zainal mempunyai cerita sendiri dengan gadis sekelasnya, Nurmala. Gadis jelita yang bertubuh montok itu, berkulit putih, berwajah keibu-ibuan, agak sebaya dengan Zainal. Banyak teman-temannya yang mendambakan untuk memenangkan hati Nurmala, tetapi gadis pujaan itu telah terpikat dengan gaya dan naluri Zainal yang suka merayu dan pandai membujuk. Nurmala datang dari keluarga orang-orang berada; ayahnya seorang pegawai kantor bupati. Seperti biasa, sebagian kecil pegawai pemerintah tidak begitu senang dengan idé Atjèh Merdeka - ini tidak terkecuali ke atas keluarga Nurmala. Hubungan persahabatan antara Zainal, Nurmala dan Mustafa sudah dimulai sejak tahun-tahun pertama di SMA.
Ketika Persahabatan mereka sudah memuncak dan menjadi lebih serius, Nurmala terpaksa memilih satu daripada dua laki-laki yang dicintainya. Dan ia memilih Zainal sebagai teman hidupnya. Walaupun demikian, hubungan mereka bertiga tetap biasa-biasa saja; Mustafa menerima dengan baik keputusan Nurmala tidak memilihnya. Akhir-akhir ini, Zainal dan Nurmala sering kelihatan berdua-duaan - bukan saja di sekolah tetapijuga di luar sekolah; mereka sering bersama-sama di akhir minggu dan hari-hari libur sekolah. Tidak lama kemudian, Zainal dipanggil oleh kedua orang tuanya untuk menyampaikan maksud dan keinginan mereka. Zainal dapat menduga dan membayangkan rencana mereka memanggilnya, apalagi hal-hal demikian jarang sekali terjadi terhadap dirinya - mendapatpanggilan dari kedua ibu-bapanya. "Apakah tidak lebih baik kalau saya tammatkan SMA dulu, satu tahun lagi, dan nanti baru kitabicarakan perkara ini." "Nak, kami merencanakan saja dulu supaya kau tidak memilih sendiri seseorang yang keluarganya tidak kami kenal," ujar ibunya dengan suara lembut. "Mungkinkah ayah-bundaku sudah mengetahui hubungan ku dengan Nurmala," pikir Zainal, "dan apa yang akan terjadi kalau mereka tidak menyetujuinya?" Tradisi perkawinan yang diatur keluarga memang sudah berjalan berabad-abad lamanya di Atjèh. Tetapi, kebiasaan ini, sekarang sudah mengalami banyak perubahan. Kebanyakanmuda-mudi di kampung-kampung, berkenalan dan berpacar-pacaran dulu sebelum hasrat mereka disampaikan kepada orang tua masing-masing. Kalau ayah-bunda tidak setuju dan mencuba main-main paksa, mereka lari dari rumah atau ancam bunuh diri - walaupun ancaman itu kosong belaka.
Dalam keadaan seperti ini, suasana perang dan huru-hara, kesetiaan masyarakat telah diperkuatkan lagi oleh rasa kesenasiban dalam menanggung semua derita dan kesusahan hidup sehari-hari, dan rasa kesatuan dalam mencapai tujuan daripada perjuangan mereka. Perasaan-perasaan seia-sekata dan kesenasiban inilah yang sebagian keluarga ingin mengabadikannya dengan per- kawinan antara anak-anak mereka - katakanlah 'sama-sama Atjèh Merdeka'. Ada pepatah Atjèh mengatakan: "Nasi, nasi putih; air, air putih; dan perempuan, orang Atjèh." Sekarang, perempuan Atjèh saja belum cukup syarat, ia musti anak orang Atjèh Merdeka. Boleh jadi, atas pertimbangan-pertimbangan di atas tadi, maka kedua keluarga ini ingin memadukan Zainal dengan Fatmawati.
BAGIAN KETIGA
Zainal dan Usman sekarang berada dalam perjalanan menuju Gombak. Perjalanan mereka akan memakan masa kira-kira 45 menit, sebab mereka berdua tinggal jauh di luar Kuala Lumpur. Mereka bertukar-tukar pikiran dengan serius tentang politik Atjèh Merdeka - politik dalam dan luar negeri - tanpa ada batasnya: mulai dari Plato sampai kepada Alexander the Great, mulai dari politik Presiden Bush sampai kepada glasnos dan parestroikanya Gorbachov. Tiba-tiba, di tengah jalan, mereka menyaksikan satu kemalangan jalan raya. Sebuah Yamaha Cup bertabrakan dengan sebuah lori yang datang dari arah yang berlawanan. Pengemudi Yamaha, seorang anak muda berusia kira-kira 19 tahun, cedera parah dan langsung dilarikan ke rumah sakit yang terdekat. Semua saksi mata setuju bahwa pemandu lori yang bersalah. Karena kecepatannya sangat laju, maka ia tidak sempat menghentikan ketika berhadapan dengan Yamaha Cup tersebut. "Aku tak habis pikir dengan Malaysia ini," ucap Usman sedikit kritis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bikin kereta banyak-banyak, tapi tidak pernah berjalan dengan teratur. Jèm hampir 24 jam; tiap hari, tiap saat, ada saja kemalangan jalan raya." "Memang betul," tegas Zainal. " Korban jalan raya disini, khabarnya, hampir sama jumlah dengan korban- korban perang lawan Israil di Libanon." "Ya. Itu mungkin juga," sambut Usman lagi. "Ini kan satu resiko atau mungkin satu side effect daripada kemajuan ekonomi dan pembangunan industri yang berjalan sangat cepat disini. Malaysia memang telah menjangka bahwa negara ini, sebelum tahun 2020, akan telah menjadi sebuah negara industri yang berbobot, dan masyarakat Melayu akan sudah menjadi satu masyarakat yang paling moderen - ultra modern society. Sekarang sudah kelihatan tanda-tandanya bahwa vision 2020 yang dicita-citakan Malaysia itu akan dapat direalisasikan.
Tetapi malangnya, kemajuan ekonomi dan pembangunan industri ini bukan saja mengancam jalan raya atau pencemaran udara, tetapi juga akan mengubah struktur sosial masyarakat Melayu. Lihat saja apa yang telah terjadi ke atas ratusan atau mungkin ribuan gadis-gadis kampung yang turun ke kota dan bekerja di kilang-kilang yang haus tenaga kerja itu. Hidup mereka bebas - terlalu bebas - bagaikan burung-burung di udara. Dan kalau kebetulan mereka hamil akibat pergaulan bebas itu, mereka tidak berani mengambil tanggung-jawab; mental mereka belum terlatih untuk mengasuh dan membesarkan bayi-bayi diluar nikah itu; keluarga mereka di kampung-kampung dan masyarakat pedesaan umumnya belum sanggup menerima kenyataan-kenyataan ini. Akhirnya, banyak bayi-bayi yang tidak 'beribu-bapa' itu didapati di kebun-kebun dan di tepi-tepi sungai. Generasi muda menganggap perkembangan ini sebagai satu kemajuan, tetapi kepada generasi tua itu merupakan satu shock therapy." "Ya, memang betul tapi apa hendak dibuat," ucap Zainal. "Itu merupakan satu harga yang harus dibayar oleh semua masyarakat industri. Habis, alternatifnya apa? Tak kan kita mau kembali lagi ke Zaman Perunggu! Negara-negara industri Eropa dan Timur Jauh juga mengalami hal yang serupa. Bedanya saja mereka sudah terbiasa dengan cara hidup yang begitu, yang menurut agama dan kultur kita haram atau skandal.
Bagi mereka mana ada istilah-istilah seperti itu! Eh, cakap-cakap, bagaimana perkembangan di Teluk sekarang?" Kelihatannya, Zainal ingin mengalihkan topik pembicaraan mereka. Ia tidak suka mencaci Malaysia - satu negara yang aman, makmur, rukun dan damai - yang telah memberikannya satu kehidupan yang lumayan. "Irak sudah menyerah. Saddam Husin sudah tak berkutik lagi. Ia tidak bertahan menerima serangan udara sekutu yang bertubi-tubi dan sangat dahsyat itu. Dan...""Maksud ku," Zainal meminta maaf karena terpaksa memotong pembicaraan Usman, "maksud ku bukannya Teluk Persi, tetapi kejadian keatas orang-orang kita di Telok Bahang baru-baru ini." "Oh, minta maaf, aku salah mengerti," tutur Usman dan kedua-duanya tertawa. "Dalam peristiwa Telok Bahang pekan lalu, aku pun tidak tahu pasti. Tetapi orang-orang telah dikirimkesana untuk mengurus mereka. Nanti boleh kita tanya di tempat Wirid Yasin. "Telok Bahang itu," sambungnya lagi, "kan tidak jauh dari Pantai Atjèh di Pulau Penang. Mendengar nama Telok Bahang, aku teringat kembali kepada sebuah novel pengarang Inggeris, Alan Silletoe, yang namanya KEY TO THE DOOR. Sebagian dari novel itu menceritakan kisah asmara antara seorang pemuda Inggeris, Brian, dengan seorang perempuan China, Mimi. Kejadian itu juga mengambil tempat di Telok Bahang, dekat Pantai Atjèh, di akhir-akhir tahun 50-an, ketika Inggeris dan Malaysia sedang tangguhnya melawan gerilya komunis digunung-gunung." Memang, seminggu yang lepas telah terhempas lima orang anggota Atjèh Merdeka di pesisir pantai Telok Bahang. Mereka tiba disana menjelang magrib: letih, lapar dan lemah setelah tiga hari-tiga malam diombang-ambing ombak besar di tengah-tengah Selat Melaka yang ngeri dan menakutkan itu. Suara azan magrib baru saja dikumandangkan di salah satu surau tidak jauh dari tempat pendaratan mereka. Dengan perasaan lesu dan pasrah, mereka menghayunkan langkah perlahan-lahan menuju surau tersebut, dengan tujuan untuk menunaikan salat magrib dan menyerah diri kepada penduduk setempat disitu. Setelah selesai salat, mereka menceritakan kepada orang-orang kampung yang ternganga itu tentang hal-ihwal mereka - dari awal sampaiakhir - dengan harapan untuk mendapat simpati dan sedikit makanan dari nelayan-nelayan Telok Bahang itu. Tidak lama kemudian, tanpa diduga, tanpa diterka, polis setempat pun datang menangkap mereka. "Entah siapa, diantara orang-orang kampung itu, begitu mendengar orang 'seberang' langsung saja berlari ke kantor polis untuk memberitahukannya." Demikian komentarsalah seorang tawanan itu, ketika ditanya tentang kejadian tersebut. Nasib baik, satu dari anggota-anggota Atjèh Merdeka kebetulan berada di kamar mandi ketika polis-polis itu datang.
Ia sempat melarikan diri dan memberitahu - kawannya di Kuala Lumpur. Manakala yang empat lagi, kini sedang ditangani Imigrasi Telok Bahang. Semua mengaku Anggota Atjèh Merdeka. Sampai sekarang belum ada khabar bagaimana dengan nasib ke-empat tawanan itu. "Sudah baca ASIA WEEK keluaran terakhir ini?" tanya Zainal. "Belum! Bagaimana kandungannya?" Usman ingin tahu cepat-cepat. "Oh, artikelnya panjang juga, hampir empat halaman, dengan kepala karangannya 'Waging a Dirty War in Acheh'. Isinya OK-lah, banyak cantik, walaupun tidak semuanya menguntungkan kita. Artikel itu mengisahkan kebiadaban tentera Indonesia Jawa terhadap orang-orang kampung yang tiada berdosa. Katanya, seluruh penduduk Atjèh berada dalam cekaman dan ketakutan yang tiada tara. Serdadu-serdadu itu datang diwaktu malam, mengambil orang-orang kampung yang dicuriga dari tempat tidur mereka dan membunuhnya. Keesokan harinya, mayat-mayat korban kebiadaban itu dihempaskan di pinggir-pinggir jalan dengan kaki dantangan terikat. Artikel itu yang juga memetik lapuran-lapuran ASIA WATCH yang ditutup dengan pengadilan pura-pura yang dilakukan ke atas sembilan orang serjan di Banda Atjèh. Yang menyedihkan sekali, tulisnya lagi, banyak rakyat Atjèh yang telah dihukum mati tanpa pengadilan. Untuk mengetahui lebih lanjut, kau boleh baca sendiri nanti. Majallahnya ada saya bawa disini." "Memang kebrutalan serdadu Indonesia Jawa itu," komentar Usman, "tidak ada bandingnya.
Tepat sekali seperti yang dilapurkan ASIA WATCH baru-baru ini bahwa sejak Indonesia itu berdiri, pelanggaran dan kekerasan sudah merupakan satu strategi yang tetap. Jenderal jenderal Jawa yang buta sejarah itu mengira bahwa menegakkan satu negara pura-pura dengan kekerasan dan kezaliman itu akan dapat dikekalkan buat selama-lamanya. Mereka tidak mengambil pelajaran dari sejarah mengapa Kerajaan Rom Roman Empire - dan Kerajaan Persi yang begitu berkuasa boleh tumbang; mereka tidak mengerti kenapa Uni Soviet boleh hancur berantakan; dan, tentu saja, Suharto dan kaki-tangannya sudah lupa dimana sahabat karib mereka, Marcos, sekarang berada dan mengapa!" Usman, dibandingkan dengan Zainal, tidak begitu pandai berbahasa Inggeris walaupun ia telah mengikuti beberapa kursus dalam bahasa tersebut. Tetapi, karena ia sering membaca majallah dan surat-surat khabar berbahasa Inggeris, maka baginya tidak ada perkara untuk memahaminya. Manakala bahasa Inggeris Zainal jauh lebih baik. Disamping memiliki diploma FCE (First Certificate in English) - satu kursus Cambridge yang mempunyai cabang di hampir 150 negara - ia juga sering berbicara bahasa Inggeris dengan isterinya di rumah. Bertolak belakang dengan Zainal, Usman lebih mendalami ideologi Atjèh Merdeka. Ia lebih aktif dan lebih terlibat dalam kegiatan sehari-hari Gerakan ini, dan sering meninggalkan kerjanya kalau ada hal-hal yang mustahak untuk perjuangan. Khabarnya ia sudah bersumpah-sumpah tidak akan berkawin sebelum Atjèh merdeka. Mungkin sekali, karena Usman lah maka Zainal semakin hari semakin bertambah giat dalam Atjèh Merdeka. "Apa tanggapan mu tentang pengungsi-pengungsi kita yang baru datang dan mendekam dalam penjara-penjara di Penang, Kedah dan Perak," tanya Zainal tanpa menoleh kepada Usman yang duduk disampingnya. "Terus terang saja, itu satu perkara yang agak sulit untuk dijawab; satu hal yang paling sensitif buat negara ini. Malaysia tidak ingin hubungannya dengan Indonesia terjejas atau menjadi retakkarena pengungsi-pengungsi Atjèh ini, atau karena alasan-alasan apa saja yang lain. Sebaliknya, Malaysia perlu juga menjaga dan mempertahankan nama baiknya di mata dunia dalam menangani perkara-perkara yang berkenaan dengan hak-hak asasi manusia. Walaupun kita sudah mendengar pernyataan-pernyataan yang berlawanan daripada pemuka-pemuka tinggi negara ini, namun keputusan terakhir bergantung kepada tekanan-tekanan dari luar dan badan-badan hak asasi manusia di dalam negeri ini sendiri. Sebagaimana diketahui, Kerajaan malah tidak mengakui adanya pengungsi Atjèh di penjara-penjara disini.
Tetapi itu hanya raisons d'état-nya saja, berbohong kepada dunia dan rakyatnya untuk mempertahankan tindakannya yang tidak seronok itu. Tetapi, setakat ini belum ada tindakan yang sudah diambil. Dan, menurut pengamat-pengamat luar, sekarang belum ada tanda-tanda Malaysia akan melaksanakan permintaan Indonesia supaya pengungsi-pengungsi Atjèh yang terdiri dari anak-anak, perempuan dan orang tua dikembalikan ke kampung-kampung mereka." "Kalau dikirim juga?" pancing Zainal lagi yang kelihatannya belum puas dengan jawaban temannya yang panjang itu. "Mungkin saja sebagian daripada mereka akan dibunuh," jawab Usman pendek. "Itu resiko kita sebagai pejuang. Apa boleh buat - orang punya kuasa! Tapi..." Usman berhenti sejenak, bibirnya digigit kuat-kuat, dan kelihatannya ia sangat kesal. "Malaysia, sebagai kaki tangan Indonesia, tidak terlepas dari tanggung-jawab - bukan di dunia saja tetapi juga di akhirat nanti. Sebagai Negara Islam, Malaysia wajib melindungi saudara-saudara Islamnya yang dizalimi dan dianiaya. Sebagai masyarakat internasional dan anggota daripada PBB, negara ini tidak akan terlepas daripada Ketetapan Hukum Internasional dalam melindungi pengungsi-pengungsi Atjèh itu. Meskipun tidak menandatangani Perjanjian Geneva - Geneva Convention - tahun 1951, namun Malaysia terikat dengan aturan atau prinsip- prinsip non-refoulment dan ketetapan daripada jus-cogens - satu bagian hukum internasional yang mewajibkan ke atas semua negara supaya mentaatinya - tanpa ada pengecualian."
BAGIAN KE-EMPAT
Zainal dan Usman sekarang sudah tiba di Gombak, tetapi sedikit terlambat. Mereka berdiri diluar karena tidak cukup tempat didalam. Rumah yang tidak berperabot dan berlantaikan semen itu terletak kira-kira 200 meter ke dalam dari Jalan Besar Gombak. Rumahnya paling sederhana, luas tapi murah, dan sewanya tidak lebih dari 300 Ringgit. Rumah-rumah murah seperti inibiasanya dihuni oleh orang-orang bujang. Satu rumah cukup untuk 10-20 orang, tidur di atas semen yang beralaskan tikar pandan dan surat-surat khabar Berita Harian atau Utusan Malaysia. Banyak anak-anak muda Atjèh disini tidak mempunyai kerja tetap karena kebanyakan tidak memiliki IC (Identity Card). Ada juga sebagian yang punya IC tapi tidak mau kerja, katanya"Kerajaan akan marah-marah" kalau mereka bekerja di bangunan atau di kebun-kebun kelapa sawit. "Bukannya tak mau kerja," tutur seseorang disitu, "tetapi kerjanya ini yang satu macam - matahari sejengkal dengan kepala."Pemuda-pemuda Atjèh disini memang mempunyai background yang sangat berbeda-beda: ada yang buta huruf - tidak pernah pergi sekolah sama sekali, ada yang lepasan University - seperti ahli hukum, dan ada juga pensyarah-pensyarah di sekolah tinggi; ada yang tidak tahu baca Alif-Ba-Ta-Tsa, tetapi ada juga yang tinggi sekali pengajiannya dalam ilmu agama dan menguasai bahasa Arab dengan perfect.
Pertanyaan: Soal jika ditanyai orang kita, "apa kerja awak disini?" Maka jawab bahwa "kerja yang ada untuk kami, kalau bukan kerja kontrak di bangunan-bangunan, tentu saja kerja kerja mengoreh getah di kebun karet atau kelapa sawit." Yang datang pada Wirid Yasin pada malam itu ada kira-kira antara 150- 200 orang - sudah pasti banyak yang tak ada tempat di dalam. Walaupun mereka duduk bertindih lutut, berdesak-desak seperti ikan sardin, hampir setengah dari mereka berada di luar rumah. Zainal, yang sejak dari tadi berdiri di luar, kini mencuba mendapat tempat berdiri dekat pintu supaya boleh melihat dengan terang wajah-wajah baru yang sedang berpidato itu. Dinding rumah sebelah dalam penuh dengan tempelan guntingan-guntingan surat khabar,majallah, lukisan bendera Atjèh dan bermacam-macam slogan perjuangan.
Di dinding sebelah kiri pintu masuk, terpampang dengan jelas satu kutipan dari Friedriech Nietzche, THUS SPOKE ZARAZUSTRA, yang berbunyi: "Kamu dinasihati jangan bekerja, tapi berperang; kamu dinasihati jangan berdamai, tapi cari kemenangan. Biarkan kerjamu itu berperang, biarkan damaimu itusatu kemenangan." Banyak anak muda Atjèh yang sungguh-sungguh mengamalkan dan mejalankan nasihat Nietzche itu. Mereka meninggalkan Malaysia dan pulang ke Atjèh untuk berperang; "tapi ada juga yang menjalankan sebagian saja - jangan bekerja tapi makan-makan tidur," kata seorang penghuni rumah itu sambil ketawa terbahak- bahak. Di dinding sebelah kanan pintu masuk, terdapat satu tulisan dengan huruf cetak yang besar-besar, kata-kata dalam bahasa Perancis yang tidak kurang populer juga dikalangan Atjèh Merdeka: 'EH BIEN, JE SUIS UN SOLDAT' - apa boleh buat, aku ini seorang serdadu. Kata-kata ini diucapkan oleh Panglima Perang Kolonial Belanda di Atjèh, Kolonel H.J. Schmidt, setelah pasukannya menembak mati Teungku Thjik Mahyeddin di Tiro, Wali Negara Atjèh yang ke-39, dalam Perang Alue Simi, Tangse, 3 September, 1910. Schmidt yang pandai berbahasa Atjèh itu memainkan peranan penting dalam Perang Penjajahan Belanda di Atjèh yang berlangsung hampir satu abad itu. Peranannya dalam Perang Atjèh ini hampir setaraf dengan 'Lawrence of Arabia' dari Inggeris. kedua-dua officer kolonial Eropa itu adalah manusia-manusia yang beradab, berpendidikan dan tahu nilai-nilai sejarah dan budaya musuh mereka. "
...Saudara-saudaraku bangsa Atjèh! Berapa pengorbanan kita ini dibandingkan dengan apa yang telah dikorbankan oleh nenek moyang kita dahulu. Mereka telah membrikan segala-galanya: harta, tenaga, dan nyawa demi tegak dan utuhnya kemerdekaan Atjèh; mereka telah berjaya mengusir Portugis dari Selat Melaka pada abad ke-16, memukul mati kekuasaan Belanda di Dunia Timur dalam Perang Bandar Atjèh tahun 1873, dan menghenyah Jepang dari Bumi Sumatra pada tahun 1945. Ketiga-tiga bangsa itu jauh lebih kuat dan lebih berkuasa daripada musuh kita sekarang - Indonesia-Jawa. Oleh karena itu, jangan ada yang mengatakan bahwa musuh kita ini - bekas babu dan serdadu bayaran Balanda - mustahil untuk dikalahkan! Nenek moyang kita telah melakukan semua ini untuk keturunannya yang akan datang, untuk kita-kita yang hidup sekarang dan, tentu saja, untuk anak-anak cucu kita nanti, kalau kita sedia menerusi perjuangan mereka dan menghargai pengorbanan-pengorbanan mereka...! Saudara-saudaraku sekalian, bangsa Atjèh! Bangsa kita sekarang sedang bermandikan darah; marwah kita sebagai satu bangsa dan sebagai orang Islam sejati sedang dihina dengan sekeji-kejinya; adik-adik kita yang perempuan diperkosa didepan ayah-bunda mereka. Saya rasa, tidak ada yang belum dilakukan ke atas bangsa kita oleh musuh kita yang tidak beradab itu. Jadi, bagi kita yang masih hidup, yang ada disini hari ini, apa yang musti kita perbuat? Cukupkah dengan berkumpul-kumpul begini, berdo'a-do'a saja, dan habis itu makan enak-enak? Jawabannya 'TIDAK'! Bagi kita disini ada dua pilihan: adakala kita membantu mereka didalam dengan apa saja yang ada pada kita atau pulang ke kampung semua, mempertahankan bumi persada kita dengan kekuatan apa saja yang ada pada kita. Itulah hidup yang bermakna! Itulah hidup yang dianjurkan oleh agama kita! Selain dari dua pilihan itu, semuanya khianat...!
Petikan di atas tadi adalah bagian daripada pidato salah seorang yang baru mendarat di Port Kelang tadi pagi. Laki-laki yang berumur kira-kira 34 tahun itu kelihatan lebih tua dari umur sebenarnya. Tubuhnya kecil dan kurus, matanya merah dan lelah seperti sudah berhari-hari tidak tidur. Pidatonya memang agak keras, berapi-api dan padat dengan isi. Suaranya, kadang-kadang rendah, halus seperti membujuk; kadangkala keras, tinggi melaung bagaikan mengusik dan mengancam. Usikan dan ancaman itu agaknya ditujukan kepada pihak-pihak tertentu - pihak-pihak yang masih enggan membantu dan membiayai perjuangan, pihak-pihak yang masih berpikir-pikir dulu dan berfungsi sebagai 'pemerhati' dalam rapat-rapat Atjèh Merdeka. Baru-baru ini banyak expatriate Atjèh di negara ini yang menghadiri Wirid Yasin, tapi mereka tak mau ambil pusing dengan apa yang terjadi di Atjèh dan tidak begitu tertarik dengan idé Atjèh Merdeka itu. Orang-orang seperti ini, yang oleh anggota Atjèh Merdeka biasa dijuluki dengan nama 'Atjèh Satu Macam'. Memang, selama ini sudah bertambah-tambah orang yang hadir pada Wirid Yasin.
Pertama, karena hangatnya keadaan di Atjèh; kedua, karena banyaknya orang-orang Atjèh Merdeka yang keluar masuk negara ini. Sekarang bukan saja orang-orang yang bersimpati dengan gerakan saja yang datang, tetapi ada juga dua-tiga anti Atjèh Merdeka yang hadir. Pimpinan Atjèh Merdeka disini sudah mulai memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan keamanan, sebab,perkumpulan-perkumpulan yang bersifat politik tidak dibenarkan Kerajaan. Kegiatan-kegiatan Atjèh Merdeka disini tidak lagi merupakan suatu rahasia, dan hal ini telahpun diketahui pihak berwajib. Tinggal masanya saja tindakan apa yang bakal diambil."Kalau mereka (polis) datang, musti bawa banyak lori. Lebih setengah yang ada disini tidak mempunyai dokumen apa-apa," tutur seseorang yang berdiri dekat pintu sambil menghirup asap rokok kreteknya. "Sama aku ada satu cara," sahut yang satu lagi tidak jauh dari situ. "Kalau mereka datang, kita terus saja baca Yasin sampai pagi atau sampai mereka pergi," tegasnya dan tertawaterbatuk-batuk. "Ah, kalau mereka diperintah oleh atasan untuk menangkap 'pendatang-pendatang haram' yang tidak punya IC, mereka jalankan saja. Peduli apa dengan orang baca Yasin! Nama saja alat negara, macam tak paham saja!" sambut kawan yang lain lagi dengan serius.
Macam-macam timbul dalam pikiran mereka: perasaan takut, perasaan tak aman dan tidak menentu selalu menghantui pikiran mereka. "Tetapi bagi kami disini," kata seorang tua yang berambut uban, berbadan gemuk dan katanya ia baru saja datang dari Atjèh, "tidak ada pilihan lain ketika bangsa kami sedang dibunuh, anak-isteri kami diperkosa dan dianiaya didepan mata kami, selain berdo'a dan berkumpul-kumpul begini untuk saling menghibur satu sama lain." Dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini, mereka meneruskan kegiatan-kegiatan tersebut dengan pasrah walau apa yang bakal terjadi ke atas mereka kelak. Zainal meresapi benar-benar setiap kata yang didengarnya, sekaligus ia juga mengamati dan memperhatikan dengan dalam-dalam sipembicaranya. Sekali sekala tersentuh dalam ingatannya, seakan-akan wajah yang sedang ia tatapi itu tidak asing baginya. Mula-mula perasaan itu diketepikan begitu saja - apalagi selama ini pikirannya sering mengganggu dan kerap kalimengalami mimpi-mimpi yang buruk. Tetapi, semakin lama diperhatikan semakin terang baginya bahwa lelaki yang sedang berbicara didepannya itu tidak lain daripada sahabat karibnya, Mustafa, yang sudah 13 tahun berpisah. Walaupun begitu, Zainal belum betul-betul menyadari bahwa apa yang dilihatnya itu satu kenyataan. Ia mengesat-ngesat matanya tak mau percayadengan apa yang sedang terjadi, tapi bibirnya sudah mulai tersenyum. Rasanya tidak begitu penting bagi Zainal kalau ia harus ketawa atau menangis sekarang dalam menghadapi kenyataan ini. Mata dan pikirannya mulai dipusatkan seluruhnya kepada wajah Mustafa - bukan lagi kepada isi pembicaraannya. Sejuta kenangan- manis dan pahit- ingin meledak dalam seketika.
BAGIAN KELIMA
Dikala bulan terang, anak-anak muda Atjèh di kampung-kampung kerap kali berada di luar rumah sampai jauh malam. Mereka mengadakan bermacam-macam kegiatan, seperti bermain-main latihan perang. Tetapi ada juga yang hanya berkumpul-kumpul saja untuk menghabiskan masa, berjalan-jalan di tepi pantai menikmati keindahan alam di malam hari dikala bulan purnama, sambil mengharap-harap kedatangan Nabi Chaidir. Menurut dongeng, dulu-dulu Nabi Chaidir biasa turun ke tepi pantai dikala bulan terang. Dan sesiapa yang sempat melihatnya atau betemu dengan nya, boleh meminta apa saja yang dikehendaki dan akan dikabulkannya. Sebagian remaja yang hidupnya tak menentu, serba kurang, dan tidak bersekolah, memang kehadiran Nabi Chaidir itu sangat di idam-idam kan. Malam itu, Zainal dan Mustafa tidur di surau bersama kawan-kawan sebaya mereka. Sepertibiasa sebelum masanya tidur, mereka berjalan-jalan berkeliling kampung. Mereka telah sepakat hendak memanjat kelapa Pak Sabi di belakang rumahnya, untuk memakan kelapa mudanya. Pak Sabi itu dikenal di kampungnya sebagai 'Sabi Kaya', sebab ia memiliki harta yang banyak: ada dua-tiga kolam ikan yang diurus dan dipercayakan kepada orang lain karena tidak sanggupmengurusnya sendiri.
Dia dan isterinya sudah berusia 60 tahun lebih dan tidak dikurniai seorang anak pun, manakala saudara-maranya tidak pernah dekat dengannya. Kikirnya bukan main! Selain kolam ikan, Pak Sabi juga memiliki beberapa hektar kebun kelapa yang luas. Dari hasil kelapanya saja, ia dan isterinya sudah melebihi daripada keperluan hidupnya sehari-hari.Orang-orang tua di kampung pernah mengusulkan kepada Pak Sabi dan isterinya supaya pergi saja ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji - Rukun Islam Yang Kelima - yang diwajibkan kepada semua orang Islam yang punya kesanggupan untuk pergi kesana sekali dalam hidupnya. Sebab, banyak orang kampung yang sudah berhasil menunaikan rukun Islam yang kelima ini meskipun tidak sekaya dia. "Setelah pulang dari Mekkah nanti, kemana kami? Mengemis?" Begitulah tanggapan Pak Sabi atas gagasan orang-orang tua di kampung tadi. Memang, perkara kikirnya Pak Sabi ini semua orang kampung tahu dan ia takut setengah mati kalau sedikit saja hartanya akan berkurang. Kebiasaan anak-anak muda 'mencuri' kelapa memang diketahui Pak Sabi, tetapi dibiarkan saja. Atau mungkin saja ia tidak ada kuasa untuk melarangnya? "Kalau untuk dimakan saja ya boleh, asal jangan untuk dijual!" Demikian respon dari Pak sabi, ketika mendengar lapuran dari anak-anak muda yang tidak ikut pada malam itu. Sifatnya Pak Sabi memang begitu: kalau diminta haram dikasih tetapi kalau diambil tanpa izin, ya boleh saja. Pak Sabi dan isterinya tinggal di sebuah gubuk tua yang tidak terurus, terletak di atas sebidang tanah yang luas di tengah-tengah ratusan pokok kelapanya.
Gubuknya itu agak terpencil dari rumah-rumah orang kampung yang lain. Kebunnya yang terasing itu bukan hanya dikunjungioleh anak-anak muda yang ingin kelapanya saja, tetapi didatangi juga oleh pasangan muda-mudi yang ingin mengikat janji sehidup semati (baca: satu hidup satu mati!), merencanakan masa yang tepat untuk memberitahu hasrat mereka kepada orang tua masing-masing. Namun demikian, kadang-kadang kebun Pak Sabi itu juga sering membawa malapetaka. Sekali, satu daripasangan muda-mudi sempat dilarikan ke rumah sakit jang jauhnya lebih sepuluh kilometer karena kejatuhan kelapa tua ke atas kepalanya, dikala mereka sedang asyiknya memadu kasih dan melamun cinta. "Ah, ngeri juga," kata Zainal ketika mendengar berita kecelakaan itu. "Mungkin Tuhan tidak merestui pertemuan mereka." "Saya kira dibalik kejadian itu ada satu hikmah yang tersembunyi. Atau barangkali mereka memang ada niat yang bukan-bukan," tambah Mustafa lagi. "Boleh jadi. Siapa tahu!" ujar Zainal, dan keduanya tertawa terbahak- bahak. Tetapi bagi Zainal, kebun Pak Sabi itu mendapat tempat yang tersendiri dalam kenangannya. Disitulah buat terakhir sekali ia bertemu dengan Fatmawati, adiknya Mustafa, anaknya Imum Ali, dan pemberian orang tuanya. Disitulah ia mengucapkan selamat tinggal kepada bakal isterinya yang tidak terkabul itu, setelah mencanangkan seribu satu alasan mengapa ia harus pergi ke Malaysia buat 'satu minggu.'
BAGIAN KE-ENAM
Di negara tempat tinggalnya sekarang, Zainal telah berjaya dalam membina hidup barunya, tetapi masa silamnya tidak begitu berhasil dikuburkannya walaupun sudah berkali-kali dicuba. Dalam Gerakan Atjèh Merdeka tahap kedua ini yang dimulai awal-awal tahun 89, setelah kader-kader baru dilatih di luar negeri, mula-mula ia tidak begitu ambil pusing walaupun dengandiam-diam mempelajari siaran-siaran Atjèh Merdeka. Ia jarang sekali bergaul dengan orang-orang Atjèh biasa, kecuali dalam hubungan meniaganya saja. Orang-orang Atjèh Merdeka hampir saja melebelkannya sebagai 'Atjèh Satu Macam' karena terlalu hati-hati dan enggan melibatkan diri, walaupun ia tidak pernah mencaci Atjèh Merdeka. Sebagian malah memandang Zainal dengan mata curiga, sebab ia sering kelihatan dalam rapat-rapat Atjèh Sepakat - satu perkumpulan orang-orang Atjèh expatriate, orang-orang Atjèh yang sudah bertapak dan menetap lama di Malaysia dan kebanyakan anggota-anggotanya terdiri dari Atjèh Yan Kedah. Pergaulannya sering dengan orang-orang Atjèh 'intelectual' yang belajar di sekolah-sekolah tinggi di Kuala Lumpur atau yang datang dari Jakarta yang menganggap Jakarta itu pusat dunia.
Mereka ini melihat dirinya superior daripada Atjèh-Atjèh lain yang tidak pernah merantau ke pulau Jawa. Acara Wirid Yasin sudah selesai. Orang-orang mulai duduk bertumpuk-tumpuk, minum kopi dan merokok, bertukar-tukar pikiran dalam berbagai topik - mulai dari keadaan di Atjèh sampai kepada huru-hara di Timur Tengah dan Asia Tengah. Zainal yang masih di luar dalam kegelapan malam mulai mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku, di bawah pohon cempedak. Ia meminta kepada temannya, Usman, supaya pulang dulu dengan menumpang kenderaan kawan, karena ia ingin bersendirian malam itu. Supaya pertemuannya dengan Mustafa tidak menjadi dramatis, maka Zainal menunggu masa yang tepat - menunggu sampai kebanyakan orang sudah pergi dari situ. Tidak lama kemudian, Zainal menuju ke suatu tempat dimana Mustafa sedang duduk berkeliling dengan beberapa kawan setia, yang kelihatannya sedang berbicara tentang sesuatu yang penting. Mata kedua lelaki itu, yang sudah 13 tahun tidak pernah berjumpa, betemu dan lama bertatapan tanpa diiringi kata-kata. Mereka berpeluk lama-lama dan kuat-kuat; tangan-tangan mereka saling menepuk bahu dan, karena begitu terharunya, kadang-kadang dari mulut Mustafa terdengar kata-kata 'Allahu Rabbi'.
Dengan penuh hormat, Mustafa me- minta izin kepadasahabat-sahabatnya untuk keluar sebentar ingin berbicara dengan Zainal. Persahabatan kedua laki-laki ini semasa di kampung memang tidak kenal batasnya. Mereka saling bantu membantu dalam perkara apa saja - tidak kira halal atau haram. Bukan saja ketika salah satu berkelahi, tetapi juga saling bantu membantu dalam ujian-ujian penting di sekolahnya.Mereka memiliki bakat dan kelebihan yang berbeda. Mustafa, yang sejak kecil-kecil lagi bercita-cita ingin menjadi advokat-ahli hukum-peguambela dan entah apa-apa lagi, memang kuat sekali ingatannya. Ia selalu mendapat nilai yang paling tinggi dalam pelajaran-pelajaran yang perlu banyak menghafal, seperti sejarah, biologi, geography dan lain-lain lagi. Baginya tidak susah untuk menjawab tahun-tahun penting dalam sejarah, nama-nama kota besar di dunia dan nama-nama tempat dalam peta bumi. Khabarnya, ia boleh menghafal Proklamasi Atjèh Merdeka yang hampir tiga halaman itu. Ia tahu persis bila Melaka jatuh ke tangan Portugis dan dari Portugis jatuh ke tangan Belanda, dan boleh mengisahkan dengan lengkap bila dan bagaimana Raja Si Wujud mendarat di Atjèh dengan 'menyeberangi' Selat Melaka tanpa menggunakan perahu. Sebaliknya, Zainal mempunyai kelebihan yang lain pula. Dia orangnya berbakat seni, berwatak artis, suka membaca buku-buku sastra dan novel; ia juga gemar menyanyi dan melukis; suaranya merdu bagai buluh perindu, boleh menyanyi dalam bahasa asing seperti bahasa Urdu dan Arab, walaupun tidak mengerti maknanya. Di negeri barunya ini, ia pernah mencuba menjadi P-Ramli nomor dua, ingin menyadurkan bakatnya yang artistik itu tetapi gagal. Tantangannya besar, sponsornya tidak ada dan akhirnya memilih business dan berjaya. Di sekolahnya, ia selalu diajak ikut serta oleh ketua osis setiap ada undangan pesta dari sekola-sekolah lain. Ia sering menyanyi lagu-lagu kesayangannya, kalau diminta. Pada suatu pesta perpisahan dengan kawan-kawan kelas tiganya di SMA, akhir tahun 1976, Zainal diminta melagukan satu dari lagu lagu kegemarannya, dan ia memilih 'SEMINGGU DI MALAYSIA'. Aula sekolah yang luas itu penuh sesak dengan para murid yang akan pergi dan yang masih tinggal, guru-guru dan para undangan khusus dari sekolah-sekolah lain. Nurmala, kekasihnya, yang sejak dari tadi memilih tempat duduk di bangku ketiga dari depan, tidak pernah mengedipkan matanya mengikuti alunan suara Zainal yang sedang bernyanyi itu. ...Abang 'kan pergi, abang 'kan pergi Tak akan lama Hanya seminggu, duhai sayangku Di Malaysia... Nurmala dapat merasakan bahwa setiap kata-kata yang dinyanyikan Zainal seakan-akan ditujukan kepadanya. Ia sentiasa gelisah dan sudahpun membayang-bayangkan bahwa ia tidak akan dapat memiliki Zainal walaupun kedua-dua mereka telah sama-sama mencintai; ia sadar yang Zainal tidak mampu melawan kehendak orang tuanya, dan akan mengambil Fatmawati sebagai teman hidupnya, walau dengan hati yang berat. Nurmala sudah lama mempelajari tentang keluarga Zainal, baik melalui dia sendiri maupun via teman-teman perempuannya yang kenal dengan mereka. Zainal pun tahu juga bahwa ia harus mendaki gunung yang tinggi dan menuruni lembah yang curam sebelum ia dapat memetik mawar yang harum tapi berduri itu. Walaupun demikian, ia tidak mau berpikir tentang halangan dan rintangan yang menggunung itu, malah ia selalu meyakinkan Nurmala bahwa segalanya akan berjalan dengan lancar kalau memang cinta mereka telah terpadu.
BAGIAN KETUJUH
"Bagaimana kalian berhasil keluar dari Atjèh?" tanya Zainal dengan tidak melihat ke atas Mustafa, dan terus mengenderai Proton Saganya. "Ceritanya panjang sekali, Zainal," jawabnya singkat. "Lebih sepuluh hari dalam perjalanan." Mustafa nampaknya capek sekali. Ia belum sempat beristirahat sejak mendarat di Port Kelang tadi pagi dan tidak ada gairah untuk terjun langsung kedalam percakapan yang serius. "Eh, kemana kita ini?" tanya Mustafa dengan tiba-tiba, seperti orang terkejut saja. "Belum tahu lagi," jawab Zainal pendek. "Kenapa tidak ke rumah kau saja", usul Mustafa. Khabarnya kau sudah punya anak dua dan aku ingin sekali melihat isteri dan anak-anak mu." Zainal diam saja. Ia tidak meberikan komentar apa-apa atas usulan temannya itu. Pikirannya melayang-layang antara masa sekarang dengan masa silamnya. Ia kepingin tahu semua yang telah terjadi, lebih-lebih tentang Nurmala, sejak ia meninggalkan Atjèh. Oleh sebab itu, ia memilih tidak akan pulang ke rumahnya malam itu. Zainal menghentikan keretanya di depan Hospital Besar ketika lampu merah menyala. Ia menoleh kepada Mustafa yang telah terkantuk-kantuk itu dan sudah beberapa kali menguap. Jam tangannya menunjukkan pukul 11.45 malam.
Kuala Lumpur trafik yang biasanya selalu berderet-deret, berdempet-dempet dan berlomba-lomba seperti kuda pacuan, sekarang sudah banyak berkurang. Tetapi, kehidupan malam di Chowkit Road tidak ada hubungan dengan berkurangnya trafik. Zainal telah memutuskan untuk bermalam di hotel dengan temannya, supaya boleh berbicara dengan bebas dan tanpa gangguan anak-anaknya. Lagi pula, ia tidak mau mengganggu isteri dan anak-anaknya yang sedang nyenyak tidur. Ia berusaha meyakinkan Mustafa atas rancangannya itu. "Terserah kepada kau, Zainal. Aku dimana-manapun boleh tidur. Eh, sudah sampai dimana kita sekarang?" Mustafa ingin tahu. "Kita sudah tiba di Chowkit sekarang." "Chowkit?" ulang tanya Mustafa. "Aku dengar dari kawan-kawan yang sudah balik ke kampung, disini banyak orang Atjèh jualan rokok?" "Ya, tetapi bukan menjual rokok saja; ada yang jual buah-buahan, obat-obatan seperti jamu dan ada juga yang sudah buka warung nasi dan lain-lain sebagainya." "Oh, hebat juga orang-orang Atjèh disini!" ucap Mustafa sedikit sinis. "Patutlah mereka tidak mau pulang ke kampung lagi sehabis latihan diluar negeri. Sudah senang-senang semua," tambahnya lagi. "Tetapi keadaan sebenarnya bukan begitu, Mus," Zainal memprotes. "Bukan semua orang Atjèh disini kerjanya jualan. Hampir 80% dari mereka bekerja di kebun-kebun kelapa sawit atau kerja kontrak di bangunan-bangunan. Itupun tidak selalu ada. Manakala yang 20% lagi, hidup mereka pun tidak begitu mudah; mereka berjualan dalam ketakutan, hampir tiap malam didatangi Bandar Raya dan kena usir karena tidak memiliki surat izin berniaga." "Tapi, kalau mempunyai IC disini, masih diganggu juga?" tanya Mustafa lagi. "Kau tahu, Mus! Malaysia memang memerlukan banyak tenaga kerja di kebun-kebun karet dan di bangunan-bangunan, sebab negara ini selalu dalam membangun. Mereka tidak perlu penjual-penjual rokok dari seberang. Makanya, IC Merah yang sebagian orang kita memilikinya, hanya untuk bekerja di kebun-kebun kelapa sawit dan kerja-kerja kontrak saja - tidak boleh berjualan! Kalau ada juga yang berjualan, itu pun atas bantuan dan kasih sayang orang-orang Melayu yang baik hati atau karena sudah berkawin dengan pemegang IC Biru." "Oh, begitu rupanya!" Mustafa menggeleng-gelengkan kepala karena herannya, atau mungkin ini sesuatu yang ia tidak tahu sebelumnya. Orang-orang yang sudah balik ke Atjèh dari Malaysia tidak pernah menceritakan keadaan yang sebenar. Mereka mengatakan bahwa kerja di Malaysia itu gajinya besar - tentu saja mereka bandingkan Ringgit dengan Rupiah, satu banding seribu - dan tidak pernah menceritakan kesulitan yang mereka hadapi sehari-hari. "Kalau demikian halnya," sambungnya lagi, "kenapa tidak tinggalkan saja itu semua dan pulang ke Atjèh - berjuang! Itu masih lebih baik daripada hidup terhina di negeri orang.
Kau tahu, dan semua orang Atjèh pun tahu bahwa yang bekerja di kebun-kebun getah di Sumatra itu adalah orang Jawa - yang dipanggil dengan nama 'Jawa Kebun'; sedangkan orang Jawa yang bekerja di bangunan-bangunan dinamai 'Jawa Kontrak'. Dan sekarang sudah ada 'Atjèh Kontrak' dan 'Atjèh Kebun' di Malaysia? Apa itu tidak memalukan! Manakala negeri kita mengeluarkan hasil minyak dan gas alam berjuta-juta barel setiap hari - belum lagi hasil hutannya! Apa lagi yang mungkin akan menimpa bangsa kita kalau perkembangan seperti ini tidak dihentikan secepatnya, kalau Atjèh masih terus dibawah penjajahan bangsa asing! Mungkin tidak lama lagi anak-anak dara Atjèh akan dikapalkan keluar negeri untuk didagangkan, bekerja sebagai TKW dan menjadi pembantu rumah di negara ini, Brunei, Arab Saudi, sebagaimana telah terjadi ke atas perempuan-perempuan Jawa, Thailand dan Philipina! Ini pasti akan terjadi kalau Atjèh tidak kita bebaskan dari cengkraman penjajahan Indonesia-Jawa secepat mungkin. Nah, itulah sebabnya kenapa Atjèh selalu bergolak, sebab orang Atjèh tidak mau dihina; mereka tidak mau diperas, tidak mau diperkuda, tidak mau diperbudak dan diatur oleh siapapun..." "Ya, termasuk oleh orang Atjèh sendiri!" potong Zainal dengan tiba-tiba. Kata-kata itu terselip dari mulutnya - tidak disengaja. "Apa maksudmu?" tanya Mustafa yang kurang mengerti itu. "Maksud saya," Zainal ingin mempertahankan kata-katanya yang terselip tadi, ”maksud saya banyak orang Atjèh yang sudah senang sedikit tidak mau lagi diatur oleh bangsanya sendiri. Kita memperjuangkan STATUS QUO ANTE BELLUM - keadaan sebelum perang dengan Belanda, sedangkan mereka masih mempertahankan STATUS QUO POST BELLUM - keadaan sesudah perang dengan Belanda. Lihat saja Gubernur Atjèh sekarang, Ibrahim Hasan! Ia dari Pidie lagi - pusatnya Atjèh Merdeka?
Dia sendiri yang meminta majikannya, Suharto, supaya dikirim tentera dari pulau Jawa untuk menghancurkan Atjèh Merdeka dan membunuh bangsanya. Dan pada masa yang bersamaan pula, orang-orang Atjèh yang kaya dan sudah senang sedikit di Jakarta mengumpulkan uang berjuta-juta Rupiah untuk membiayai serdadu Indonesia Jawa yang dikirim ke Atjèh untuk membasmi Atjèh Merdeka. Sebaliknya, bangsa Timor Timur dan Papua Barat yang tinggal di Jakarta selalu bertindak dan protest walau apa hukuman yang mereka terima, ketika bangsanya dibunuh dan dianiaya. Mus, aku sudah mulai meragukan kalau orang-orang Atjèh sekarang, lebih-lebih yang tinggal di luar Atjèh, masih seperti orang Atjèh yang pernah digambarkan oleh Jenderal-Jenderal Belanda di Atjèh dulu, sebagai satu bangsa yang memiliki kecintaannya yang begitu fanatik kepada merdeka dan rasa kebangsaan yang begitu kuat ('they have a fanatical love of freedom, re-enforced by a powerful sense of race'); atau apa yang diungkapkan oleh seorang ahli sejarah, Anthony Reid, bahwa bangsa Atjèh itu adalah satu bangsa yang bangga dengan ke-Atjèhan-nya dan memiliki semangat perang yang tidak ada bandingnya di rantau ini ('they have a national pride and warlike spirit un-matched in the archipelago')." Mustafa merasa heran, sebab Zainal sangat mendalami dan mengikuti perkembangan-perkembangan Atjèh Merdeka di luar negeri walaupun ia tidak populer dan tidak banyak dikenal dikalangan orang-orang Atjèh disini. Setelah keduanya terdiam sejenak, dengan rasa kesal dan kecewa, Mustafa berucap lagi. "Orang-orang seperti Ibrahim Hasan itu dan banyak quisling yang lain lagi, suatu masa nanti akan menerima hukuman yang patut - hukuman-hukuman yang telah biasa diterima oleh pengkhianat bangsa di dalam peperangan di Atjèh dulu. Contoh-contoh sudah ada, bukan di Atjèh saja tetapi juga di negara-negara lain yang beradab. Kita tahu bagaimana PemerintahBelanda menghukum semua kollaboratornya yang bekerja sama dengan Hitler dalam Perang Dunia Kedua; kita tahu apa yang dilakukan Pemerintah Norway ke atas quisling-quislingnya yang juga bekerja sama dengan Hitler. Kalau kita menang nanti, Pangtibang-Pangtibang kita akan tahu apa yang menunggu mereka," tegas Mustafa dengan nada yang penuh emosi. Mata Mustafa yang hampir saja mengantuk tadi nampaknya sudah jaga kembali, seperti batteri yang sudah dicas. Zainal mendapati banyak perubahan pada diri Mustafa.
Lelaki yang duduk disampingnya sekarang bukan lagi anak muda yang ia kenal 13 tahun yang lalu: peramah, mudah tersenyum, suka bergurau. Mustafa sekarang tak ubahnya seperti dinamit; ia akan meledak dengan sedikit gesekan atau sentuhan. Ia mudah sekali tersinggung; cara berpikirnya terang, bulat dan tidak berliku-liku; keputusannya cepat dan biasanya tepat - jarang dua kali
BAGIAN KEDELAPAN
Kehidupan sehari-hari di Atjèh selama setahun ini memang tidak berfungsi lagi. Jakarta yang telah bersumpah-sumpah akan menghancurkan Atjèh Merdeka beberapa bulan yang lalu, telahpun menghantarkan lebih 10.000 tenteranya yang terbaik ke Atjèh untuk mencapai tujuan tersebut. Kolonialisme telah berganti menjadi neokolonialisme; nama Hindia Belanda telah diganti menjadi Indonesia; dan penjajah Eropa yang berkulit putih telah diganti oleh penjajah Asia yang berkulit sawo matang itu. Sejarah berulang! Pada tahun 1873, 118 tahun yang lalu, Pemerintah Kolonial Belanda telah mengirimkan 10.000 tenteranya ke Atjèh untuk menaklukkan negara itu. Namun, pasukan Belanda itu dipukul mundur oleh tentera bumiputera dalam Medan Perang Bandar Atjèh dan Jenderal-Jenderal Belanda dihukum mati, termasuk Panglima expedisinya, Jenderal Kohler. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu dan Perang Dunia Kedua berakhir, Pemerintah Belanda tidak ada urusan apa-apa lagi dengan Atjèh. Jangan kan menaklukkan nya, kembali ke Atjèh pun tak berani lagi. Jenderal Pramono, Panglima Kodam Bukit Barisan yang juga meliputi Atjèh, dalam temu-duganya dengan majalah Editor ia memerintahkan kepada rakyat Atjèh supaya membawa pisau atau parang jika keluar dari rumah. Dan "kalau terperogok dengan mereka (Atjèh Merdeka) supaya tembak atau tikam saja - tidak perlu sidik-siasat." Begitu perintah sang Jenderal itu kepada seluruh rakyat Atjèh. Jelas kelihatan bahwa Pramono telah belajar banyak dari Christian Snouck Hurgronje, seorang orientalist Belanda. Hurgronje dikirim Pemerintah Belanda ke Atjèh sebagai Agent Provocateur, agen yang menyamar sebagai seorang Islam untuk menjalankan politik adu domba, memecah belah rakyat Atjèh. Politik Belanda ini dikenal juga dengan nama Devide Et Impera.
Itulah yang sedang dilakukan Pramono di Atjèh sekarang: memfitnah dan mengadu domba rakyat Atjèh supaya mereka saling bunuh membunuh sesama sendiri. "Jenderal-Jenderal Belanda dengan Snouk Hurgronjenya dulu telah gagal total di Atjèh. Mungkinkah Jenderal Jawa itu dengan Ibrahim Hasannya akan berhasil? Kita ragukan!" Begitulah kesimpulan yang diambil Usman ketika ia ditemu-duga oleh seorang wartawan UTUSAN MALAYSIA tiga hari yang lepas, mengenai keadaan di Atjèh sekarang. Tidak lama instruksi itu diumumkan, sudah kedapatan banyaknya mayat-mayat yang telah busuk bergelimpangan di pinggir-pinggir jalan, terapung di sungai-sungai, dicampakkan di kebun-kebun dan lembah-lembah yang tujuannya tidak lain hanya untuk menakuti-nakuti rakyat supaya tidak berani lagi memberikan sokongan kepada Atjèh Merdeka. Perintah berkurung juga diberlakukan di sebagian besar Atjèh. "Disana berlaku perintah berkurung selama 12 jam, dan di akhir perintah berkurung biasanya didapati mayat-mayat 'pemberontak' di pinggir jalan untuk dikebumikan oleh orang-orang kampung," tulis majallah Inggeris yang ternama itu, THE ECONOMIST. Anak-anak muda Atjèh dipaksa masuk dalam 'Unit Kesatria Pancasila' yang direka oleh ABRI itu untuk dilatih delapan jam satu hari. Mereka direkrut dan dipersenjatai dengan parang dan lembing untuk memburu dan melacak Angkatan Atjèh Merdeka di gunung-gunung. Tiap kampung musti sedia 10 sampai 20 anak muda, dan ini dipertanggung-jawabkan langsung kepada Kepala Kampung. "Kalau mereka gagal menjalankan tugas ini," kata seorang pegawai tentera Indonesia, "atau membelot kepada 'GPK', maka Kepala Kampung dan orang tua mereka akan diambil." Roadblock dan checkpoint dijalankan di merata tempat. Banyak kamp-kamp konsentrasi rahasia yang dibuat militer telah diketahui umum dan beritanya telah tersebar luas di luar negeri. Persediaan sudah lengkap. Perlengkapan sudah cukup. Penyembelihan akan dimulai. Orang-orang kampung yang tinggal dekat rimba telah lari ke gunung-gunung untuk menyelamatkan diri, manakala yang tinggal di pesisir pantai telah berhijrah menuju negeri jiran di seberang Selat Melaka.
Tidak lama setelah mereka tiba di seberang, maka tampillah judul-judul karangan dalam berbagai media tempatan tentang pelarian-pelarian politik ini. "MALAYSIA DALAM DILEMA," komentar Berita Harian; "PELARIAN ACHEH DIHANTAR PULANG," tulis Utusan Malaysia; "JANGAN PULANGKAN PELARIAN ACHEH!, pinta Harakah. Dan banyak lagi kantor-kantor berita dunia seperti Reuter, AFP, UPI memberitakan kejadian ini - lebih-lebih lagi badan NGO dan organisasi hak-hak manusia di Eropa dan Amerika. Pilihan apa yang ada pada pengungsi-pengungsi yang malang itu, kalau mereka ingin terus hidup? Gerilya yang tidak bersenjata itu tidak ada kemampuan untuk melindungi orang-orang kampung daripada murkanya serdadu-serdadu Indonesia. "Hendak dihantar pulang? Rumah kami telah dibakar, dua anak laki kami sudah diambil Kopassus." Demikianlah kata-kata yang keluar dari mulut seorang lelaki yang berumur kira-kira 50 tahun, ketika diberitahukan kandungan Berita Harian mengenai nasib mereka. Orang tua tersebut, isterinya dan seorang anak perempuannya sekarang masih ditahan di Kamp Konsentrasi Telok Intan bersama dengan ratusan lainnya. Mustafa dan dua kawannya yang lain mendapat tugas dari Komando Pusat untuk keluar ke Malaysia buat satu minggu. Mereka sudah siap dengan pisak dan rangsel di bahu masing-masing, dan sejumlah surat dan lapuran-lapuran dari dalam yang akan dibawa keluar.
Persoalannya: bagaimana mau keluar? Jalan Raya Banda Atjèh - Medan dikawal ketat; kota-kota Pantai Timur dijaga; Selat Melaka dipatroli bersama antara dua negara sahabat ini. Operasi 'Pagar Betis' yang telah dipraktekkan di Timor Timur dan membawa hasil, sekarang sedang dijalankan di gunung-gunung dan kampung-kampung dekat gunung untuk memutuskan hubungan gerilya dengan rakyat. Dalam temu-duganya dengan majallah Editor, Pramono – sama Pramono - mengatakan: "Kami jalankan operasi militer, karena (gerakan) mereka itu mempunyai konsep, mempunyai senjata dan menguasai wilayah. Mereka punya massa. Ini bermakna, tanpa operasi militer, (Atjèh Merdeka) tidak pernah dapat dihabiskan." Maksud Pramono, Atjèh Merdeka mendapat sokongan rakyat, dan oleh sebab itu, rakyat harus dipisahkan dengan gerilya melalui operasi 'Pagar Betis'. Setelah timbang terima dengan Komando Pusat, berpeluk-peluk dengan saudara-saudara senasib dan seperjuangan, yang diiringi dengan air mata dan tangisan, grup trio ini mulai menghayunkan langkah menuju jurusan Timur. Dalam keadaan yang serba sulit ini, hidup di tengah-tengah rimba raya yang kadang-kadang berhari- hari tidak ada makanan, manakala musuh yang lengkap dengan senjata ada dimana-mana di sekeliling mereka, maka perpisahan-perpisahan seperti ini sungguh sangat menyayat hati. Apa lagi, mereka semua tahu dan sama-sama mengerti bahwa orang-orang yang sudah ditugaskan keluar, adakala hilang didalam perjalanan atau sampai di tempat tujuan tetapi tidak dapat kembali lagi ke dalam hutan. Biasanya, perjalanan mereka ke kampung makan masa satu hari penuh. Karena daerahnya sudah diduduki musuh, mereka harus membuat jalan sendiri. sebab, jalan-jalan yang sudah ada atau jalan-jalan yang dibuat China untuk melewati lori-lori pengambilan balak tidak dapat digunakan karena sudah diduduki musuh. Alternatifnya, mereka harus mendaki barisan-barisan kaki gunung yang tinggi dan sempit dan menuruni jurang-jurang yang paling terjal dengan tujuan untuk menjauhkan diri sejauh-jauh mungkin dari musuh yang sedang beroperasi itu. Bagi mereka tidak ada keselamatan untuk melewati dan berjalan di daerah-daerah pegunungan rendah. Setelah tiga hari-tiga malam dalam perjalanan, ketiga-tiga gerilya ini tiba di kampung dengan selamat. Mereka diterima dengan baik oleh seorang penghubung Atjèh Merdeka yang sering menetap di Medan. Dialah satu-satunya yang mengerti betul tentang keselamatan hubungan luar-dalam Atjèh Merdeka. Mereka diberi briefing mengenai keadaan-keadaan dalam perjalanan ke Malaysia dan menceritakan satu kejadian yang terjadi dua minggu yang lalu.
Dua minggu yang lalu, penghubung itu memulai kisahnya, satu tongkang seludup ditangkap ketika hendak menuju ke Malaysia. Mereka baru satu jam keluar dari Pulau Rupat, Dumai, ketika kapal patroli Indonesia menghampirinya. Setelah seluruh barang-barang seludup diperiksa, semisal rokok Gudang Garam, mereka ingin tahu juga kalau ada orang Atjèh didalam tongkang tersebut. Periksa punya periksa, dua orang kena tangkap: yang satu, didapati pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) kelahiran di Atjèh; yang satu lagi, tidak memiliki surat apa-apa - bermakna dia orang Atjèh? Kedua lelaki malang itu diambil bersama kedalam kapal patroli mereka. Saksi mata yang terdiri dari orang-orang Batak dan Minang tidak kenal dengan kedua lelaki tersebut, mungkin sekali mereka adalah orang-orang kampung yang belum pernah ke Malaysia dan ingin menyelamatkan diri kesana. Apa yang terjadi ke atas mereka? Tidak seorangpun yang tahu dimana gerangan kuburan mereka? Dan tidak ada orang Atjèh yang berani mempersoalkan kalau ada anggota-anggota keluarganya yang hilang. Sehabis mendengar cerita penghubung tadi, Mustafa dan kawan-kawannya sudah lebih berhati-hati lagi dalam mengatur perjalanan mereka. Sekarang mereka bersumpah-sumpah tidak akan berbicara bahasa Atjèh sesama mereka sebelum sampai ke tempat tujuan, dan berusaha menyembunyikan semua karakter ke-Atjèhan mereka. Kadang-kadang mereka harus berbicara bahasa Melayu loghat Batavia, pakai 'sih' dan 'dong' segalanya, walaupun tidak begitu kena dan menggelikan kalau didengar; kadang-kadang mereka menggunakan loghat Batak. "Bah, gimmaana kawu ini?" Pendeknya, semua jalan mereka tempuh demi untuk keselamatan dalam perjalanan dan keberhasilan misi mereka. Dalam perjalanan menuju Pesisir Sumatera Timur, mereka dapat menyaksikan serdadu-serdadu Indonesia yang gugup sedang beroperasi: lori-lori yang penuh sesak dengan serdadu yang datang dari luar Atjèh, sibuk bolak balik di jalan raya Banda Atjèh-Medan itu – menggambarkan keadaan perang yang sebenar. "Cuba bayangkan," bisik Ramli kepada temannya, Mustafa, "kalau bantuan dari luar sudah sampai, lori-lori itu mudah saja kita hancurkan. Dan kita tidak perlu keluar ke Malaysia, bukan?” Checkpoint terdapat hampir di merata simpang jalan. Kadang-kadang mereka menahan kenderaan-kenderaan yang lewat dan berbicara dengan pemandunya saja; kadang-kadang mereka berdiri di pintu, melihat kedalam, kalau-kalau ada penumpang yang disyaki; kadangkala seluruh penumpang dipaksa turun, KTP diperiksa, barang-barang digeledah. Siapa-siapa yang tidak memiliki KTP atau surat jalan, mereka dipisahkan dari penumpang-penumpang yang lain dan dihajar habis-habisan.
Bagi yang bernasib baik, dilepaskan setelah dipukul dan dibenarkan melanjutkan perjalanan. Tetapi, bagi yang nasibnya malang, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke atas mereka. Di sepanjang jalan Banda Atjèh-Medan itu, khasnya di hampir semua Terminal-Terminal Bus, terentang spanduk-spanduk anti-Atjèh Merdeka yang dibuat ABRI, antara lain tertulis: "ABRI AKAN MENGAMBIL TINDAKAN TEGAS TERHADAP SETIAP YANG MEMBANTU GPK." "ULAMA, UMARA, DAN ABRI MENGAJAK RAKYAT UNTUK MEMBASMI GPK SAMPAI KE AKAR AKARNYA." Nasib baik! Walaupun laut-darat dikawal ketat, namun ketiga-tiga pejuang ini tiba di tempat tujuan dengan selamat - setelah sepuluh hari dalam perjalanan.
BAGIAN KESEMBILAN
Malam sudah jula. Kehidupan di Chowkit Road mulai mengambil bentuk lain. Penjual-penjual rokok dan buah buahan masih terdapat satu-dua. Mereka menunggu langganan-langganan dengan penuh kesabaran. Gerai- gerai penjual makanan malam seperti sate, tom yam, soup ekor dan lain lain nampaknya sibuk sekali. Sekali sekala terdengar kata-kata "kopi O dua!", "Teh Tarek satu!" Tidak berapa jauh dari situ terletak Lorong-Lorong Haji Thayeb. Oh, namanya cantik bukan main! "Ada kawan-kawan yang tidak berani pergi ke lorong-lorong itu - lebih lebih Lorong Haji Thayeb Empat," kata Zainal mencuba berkelakar dengan Mustafa, "sebab, mereka pikir itu tempat tinggal Pak Haji-Pak Haji saja." Dalam Rapat Atjèh Merdeka di Kampung Pandan baru-baru ini, pernah diusulkan supaya anggota-anggotanya dilarang berjualan di Lorong Haji Thayeb Empat atau 'Belakang Mati' - nama yang sering dipanggil - karena daerahnya yang sangat rawan itu. Usulan berkenaan tidak lulus karena "banyak sekali orang Atjèh yang bekerja di Singapore tinggal di Jalan Besar – yang peranannya juga hampir serupa," kata seseorang dalam rapat itu. Memang lorong ini agak angker. Siangnya, keadaan disini sepi sekali - jangankan orang, nyamuk pun susah didapati; tapi malamnya, tempat ini lebih ramai daripada Pasar Malam dan lebih sibuk dari Pasar Ikan: penjual dadah, pelacur, peminum dan bapok-bapok yang berkeliaran disitu - tak mungkin berjalan tanpa bersenggol-senggolan dan beradu pantat dengan mereka.
Zainal memarkirkan keretanya dekat Mesjid Pakistan. Mereka telah pun sepakat untuk makan-makan dulu sebelum mencari tempat tidur di hotel. Di depan tempat parkir itu, banyak gerai-gerai makanan malam yang berbanjar-banjar yang dibuka sampai pukul tiga pagi. Ketika mereka berjalan kaki kira-kira 20 meter ke gerai-gerai tersebut, Zainal sempat memperhatikan Mustafa yang berjalan sedikit pincang. Zainal mau bertanya tapi ia segan, takut menyinggung perasaan temannya. "Mungkin keadaan Mustafa telah lama begitu, ada kecelakaan," pikir Zainal. "Mungkin juga karena kasut barunya yang sempit." Pendek kata dan apa pun penyebabnya, Zainal merasa iba melihat temannya dalam keadaan begitu: berjalan tertatih-tatih dengan menahan sakitnya. Mereka duduk berhadap-hadapan menikmati teh tarek dibawah lampu yang remang-remang, diiringi oleh cahaya rembulan yang hampir purnama itu, dengan pikiran masing-masing. Segudang pertanyaan meluap-luap dalam otak Zainal. Dia ingin tahu semua yang terjadi sejak mereka berpisah 13 tahun yang lalu - lebih-lebih tentang Nurmala. Tetapi, melihat keadaan temannya yang begitu penat dan ngantuk, ia simpan dulu pertanyaan-pertanyaan yang berat dan sensitif, menunggu sampai masa mengizinkan. "Bagaimana keadaan keluarga mu di kampung?" tanya Zainal perlahan-lahan sambil mengunyah sate kambingnya. "Khabarnya mereka baik-baik semua. Kecuali ayahku yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena sakit-sakit, setelah keluar dari penjara." "Eh, kalau aku tak salah, ayahmu kan sudah naik ke gunung!" potong Zainal tiba-tiba. "Memang betul. Ah, ceritanya panjang sekali! Kau tahu, ayahku selalu dalam keadaan sakit-sakit sejak dari dulu lagi. Suatu hari ia turun ke kampung untuk berobat dan bermalam di rumah seorang kawan.
Kepulangannya ke kampung tercium oleh musuh. Ayah diambil, rumah dibakar, manakala pemiliknya sempat melarikan diri. Kau dapat membayangkan apa yang dilakukan ke atas ayahku yang sakit itu! Ia dipukul, ditendang ramai- ramai seperti bola sepak, dan kejadian itu dipersaksikan kepada orang-orang kampung supaya mereka takut membantu Atjèh Merdeka. Kemudian ia dipenjara. Karena kesehatan ayah yang sangat memburuk, ibuku terpaksa menjual kebun dibelakang rumah untuk menebusnya. Ayah dibebaskan setelah membayar satu juta setengah. Dua minggu kemudian ia meninggal karena luka-luka dalam yang sangat parah." Raut wajah Mustafa jelas sekali mengandung kesedihan yang amat sangat setelah menceritakan kejadian ke atas ayahnya. Zainal ikut sedih juga. Sebenarnya Mustafa tidak mengetahui banyak tentang keadaan di kampungnya selain dari apa yang telah didengar dari orang lain. Menurut cerita, ia tidak selalu berada di gu- nung selama 13 tahun ini. Ketika kegiatan militer Atjèh Merdeka tidak begitu aktif lagi antara tahun-tahun 1984-1988, ia turun dari gunung dan menghilang dari Atjèh. Khabarnya ia pergi merantau ke Kuta Cane, Atjèh Tenggara, dan bekerja sebagai penjahit di 'Tailor Sekata'. Dan ia pernah kawin dengan seorang perempuan Mandeiling tetapi tidak dikurnia anak, walaupun hal itu tidak pernah diakui nya dan selalu dibantah. Setelah kader-kader baru yang dipersiapkan dan dilatih di luar negeri mulai pulang ke Atjèh di awal tahun 1989, Mustafa dengan diam-diam balik juga ke Atjèh dan menggabungkan diri dengan generasi baru Atjèh Merdeka itu.
Dia tidak balik ke kampungnya, Meureudu – Atjèh Pidië, tetapi bertandang dengan rekan-rekannya di Wilayah Peureulak. Setahun kemudian, tahun 1990, ia ditangkap dan dibawa ke Kamp Kopassus Rancung di Lhok Seumawe - salah satu tempat tahanan militer yang sering dikaitkan dengan 'neraka dunia'. Sebab, sedikit sekali tahanan yang keluar dari situ hidup-hidup. Bagaimanapun, satu mukjizat telah berlaku. Mustafa tergolong ke dalam satu golongan kecil yang bernasib baik, yang keluar dari 'neraka' itu dengan tubuh yang rusak tetapi masih bernyawa. Namun pengalamannya dalam Kamp Rancung telah membawa bekas yang kekal dalam hidupnya. Selama dalam tahanan, ia telah me- nyaksikan satu pemandangan yang mengerikan. Disana terdapat kira-kira 400 tahanan dalam dua kamar dengan mayat-mayat yang sudah busuk, tak berkepala, dan bergantung-gantung di atas atap. Ini semua dibuat untuk menakuti tahanan- tahanan lain. Tiap malam dikeluarkan sepuluh orang - tetapi mereka tak pernah kembali lagi. Zainal memperhatikan keatas Mustafa yang sedang menghabisi Tom Yamnya dengan dalam-dalam. Tiba-tiba, di dalam kegelapan malam dan dicelah-celah cahaya bulan, terlihat olehnya beberapa parut kecil di atas kening temannya itu, dan ia terbayang kembali kepada cerita mereka dalam penjara dan kejadian-kejadian di kampung 13 tahun yang lalu.
BAGIAN KESEPULUH
Sore itu, Imum Ali berada di surau untuk memimpin salat magrib. Suara azan baru saja didengungkan. Bagi orang-orang kampung di Atjèh, ini adalah masa-masa yang paling sibuk: perempuan-perempuan, khasnya para ibu-ibu, menauk anak-anak mereka yang sedang bermain di luar supaya pulang ke rumah; ayam-ayam dihalau masuk ke kandang dan begitu juga dengan kambing dan lembu - mereka tidak boleh berkeliaran di luar kalau masa magrib sudah tiba. Satu lori yang penuh dengan tentera Indonesia mendatangi rumahnya Imum Ali. Walaupun ia tidak ada di rumah, namun seluruh anggota keluarga termasuk Mustafa ada di tempat. Rumahnya telah dikepung, semua yang ada di dalam dipe- rintahkan keluar melalui pintu depan dengan tangan ke atas kepala. "Mana Imum Ali?" bentak salah seorang serdadu dalam posisi siap tempur, dan M-16nya didorongkan ke atas mereka. "Dimana dia bersembunyi?" tambah yang satu lagi dengan nada yang serupa.
Kali ini, M-16nya dengan bayonet yang putih berkilat-kilat itu dibedikkan ke atas tubuh Mustafa. "Ia sudah keluar, Pak," jawab Mustafa dengan kedua tangannya masih di atas kepala. "Bohong!" berteriak serdadu yang lain lagi tidak jauh dari situ, dan mendorong Mustafa masuk ke dalam rumah untuk menunjukkan ayahnya. Setelah rumahnya digeledah dan semua perlengkapan di dalamnya disintang-santung, sampai-sampai lemari dan koffer isteri Imum Ali pun habis dibongkar untuk mencari dokumen- dokumen atau pistol yang mungkin disembunyikan di dalamnya. Tiba-tiba, satu tembakan dilepaskan dari dalam kamar tidur Mustafa. Isteri Imum Ali yang masih di luar dan menyaksikan drama itu, jatuh dan rebah ke tanah tanpa sadar diri, setelah mendengar letupan senjata tadi. Dari mulutnya terdengar kata-kata "Inna lillahi... Anak ku Mustafa sudah tak ada lagi." Jiran-jiran sudah mulai keluar dari rumah mereka begitu mendengar suara tembakan. Mereka menyaksikan drama itu dengan hati kuyu dan tubuh yang gemetar. Sebagian tidak berani keluar dari rumah; mereka mengintip kejadian itu dari celah-celah dinding rumah mereka yang kebanyakan dibuat dari bambu atau papan yang ditempel jarang-jarang. Seorang perempuan tua yang sedang menghalau ayam-ayamnya ke kandang terus mencarut-carut kehadiran serdadu itu.
Walaupun yang dicarut-carut itu ayam-ayamnya, namun semua orang tau bahwa makian tersebut ditujukan kepada serdadu-serdadu itu. Perempuan Atjèh memang jarang sekali bergaduh sesama mereka. Tapi kalau mereka memaki, ya Tuhan, boleh tanding dengan Si Minah Melayu yang berbalas-balas pantun itu: simaté geucang, sibuyôh sampôh, sibadeuëk pajôh, sita'eun suba, si...! Entah apa-apa lagi yang dikatakan. Pokoknya panjang - sama panjangnya dengan titel Idi Amin Dada..., bekas Presiden Uganda itu. Serdadu-serdadu yang masuk kedalam tadi keluar dari rumah satu persatu dengan perasaan bengis dan kejam, sebab yang dicari-cari itu tidak didapatinya. Mustafa yang telah digari itu juga keluar dari rumah dengan segar bugar, tidak seperti yang disangka-sangka. Ia digiring oleh dua orang serdadu, diseret ke dalam lori, dan dibawa bersama mereka untuk disiasat tentang kegiatan-kegiatan ayahnya. Seekor kucing kesayangan keluarga Imum Ali, karena terkejutnya atas kedatangan tamu-tamu yang tak diundang tadi, melompat ke atas bahu seorang serdadu. Serdadu yang gugup dan mungkin belum habis latihan itu, terus saja melepaskan tembakan tanpa menyadarinya.
Pelurunya menerjang ke atas. Tidak ada yang binasa. Mereka tidak tahu sama sekali yang Mustafa juga aktif dalam membantu ayahnya. Tetapi, sebagai kerutinan militer Indonesia, kalau ayah tidak didapati, maka anakya yang laki akan diambil untuk mendapat informasi yang diperlukan. Ketika ditanya wartawan dalam kasus ini, Pramono mengatakan: "Penangkapan ke atas anggota-anggota keluarga memang diperlukan untuk mendapat informasi." Dan, sebagai sudah menjadi pengetahuan umum di Atjèh, kalau kepala rumah tangga (ayah) terlibat dalam gerakan-gerakan seperti ini, maka seluruh anggota keluarga sedikit banyak akan dianggap terlibat juga. Di dalam tahanan sementara Laksusda Kodam I, Mustafa dihadapkan dengan seorang tahanan lain yang ada hubungan dengan ayahnya. Namanya Pak Husin dan sering dipanggil dengan panggilan Petua Husin. Ia ditangkap dua minggu yang lalu di sebuah warung kopi, ketika sedang berbincang-bincang perkara Atjéh Merdeka yang kebetulan didengar oleh inteligen Indonesia yang datang kesitu dengan menyamar. Begitu tiba di Markaz Militer, ia dihantam babak belur sampai pingsang. Ketika sadar dari pingsangnya, ia diperiksa dan dipukul lagi. Meskipun siang malam disiksa dengan arus listrik, dibenamkan ke dalam air najis, dan dipijak-pijak dengan kasut askar ke atas kepala dan mukanya, namun ia tidak juga memberikan informasi apa-apa.
Tapi karena penyiksaan ini berlangsung terus, akhirnya ia mengaku dan menulis nama-nama hubungannya dan orang-orang yang ia kenal dalam gerakan ini. Awal-awal, Mustafa tidak begitu disiksa. Tetapi setelah informasi tentangnya bocor melalui orang tua ini, ia pun diperlakukan dengan biadab sekali dan diluar perikemanusiaan. Mukanya sudah remuk redam, sampai- sampai Petua Husin hampir saja tidak mengenalnya lagi ketika mereka duduk berhadapan. Mustafa menolak semua tuduhan dan membantah bahwa ia kenal dengan orang tua yang duduk di depannya itu. Manakala orang tua itu telah membongkar segala-galanya. Akhirnya, keduanya ditinggalkan bersendirian selama 15 menit supaya mereka boleh berunding. "Mengaku saja nak! Bapak telah menceritakan segala-galanya. Mula-mula bapak tidak mau juga. Tapi lihat tulang rusuk bapak, sudah patah-patah semua! Lihat tubuh bapak yang masih remuk ini!" Sambil menangis terisak-isak seperti anak kecil, Petua Husin mengangkat bajunya dan memperlihatkan kepada Mustafa badannya yang masih lembam-lembam bekas pukulan, dan luka-luka kecil yang nampaknya jelas bekas kebakaran rokok keretek. Mustafa tidak menjawab sepatah kata pun. Tangannya ditumpangkan ke dahinya, dan matanya melihat ke bawah memperhatikan kakinya yang sedang dimain-mainkan itu. Kadang-kadang ia timbul kasihan kepada orang tua di depannya; kadang kala membencinya, sebab gara-gara dialah maka Mustafa terpaksa menjalani siksaan yang paling berat. Sekarang, Mustafa sedang menghadapi satu dilema. "Kalau aku mengaku," pikirnya, "mungkin aku tidak akan disiksa lagi. Tetapi, haruskah aku membocorkan orang-orang lain juga - lebih-lebih teman karib ku, Zainal? Ah, pilihan yang satu ini tak mungkin aku jalankan." Dia berpikir dan mencari-cari precedent - contoh pengalaman yang boleh digunakan untuk keluar dari masalahnya. Ia teringat kembali kepada monolog putera mahkota Denmark, Hamlet, dalam tragedi Shakespeare itu. 'To be or not to be, that is the question'. Sayangnya, monolog Hamlet ini tidak meringankan beban yang dipikul Mustafa, apalagi untuk memecahkan masalahnya. Hamlet berpikir untuk membalas dendam ke atas pamannya atas kematian ayahnya.
Manakala Mustafa berpikir untuk menyelamatkan dirinya, teman-temannya, dan bangsanya daripada dendam kesuma dan murkaan tentera Indonesia. "Kalau aku berkeras dan tidak mengaku," timbangnya lagi, "aku akan dihajar habis-habisan, karena semuanya sudah bocor." Pilihan yang satu ini pun pahit sekali untuk ditelan. "Mengaku saja nak!" bujuk Petua Husin lagi. "Ini demi kebaikan kita semua. Orang-orang yang sudah mengaku tidak pernah diganggu lagi." Masa 15 menit untuk mereka sudah habis dan Petua Husin dipanggil ke kamar lain. Setelah berpikir panjang-panjang, Mustafa terpaksa memilih pilihan yang pertama - mengaku. Walaupun begitu, ia berusaha sedapat mungkin untuk mengecilkan peranannya dalam Atjèh Merdeka, dan mendedahkan nama orang-orang yang adakala sudah meninggal atau sudah lari ke gunung. Tidak lama kemudian, Zainal pun ketangkap. Setelah diperiksa dan disiksa, ia ditempatkan di dalam satu kamar dengan Mustafa. Mustafa mula-mula merasa sedikit malu dan bersalah, karena ia pikir dengan sebab dialah maka Zainal ditangkap. Pada hal, penangkapan ke atas Zainal berpunca dari sumber-sumber yang lain lagi. Mustafa dan Zainal dipindahkan kemudian ke Penjara Kedah dan ditempatkan bersama-sama dengan ratusan tahanan lain tanpa ada suatu ketetapan hukuman. Mereka semua dituduh atas kesalahan subversive - merongrong pemerintah.
Bagi Mustafa dan Zainal, hidup mereka sekarang sederhana saja: makan apa yang ada, kalau ada; tidur di atas lantai semen kalau tak ada tikar; dan sekali-sekali datang kunjungan dari luar membawa rokok dan makanan yang enak-enak. Walaupun di dalam penjara dan sedang menjalani hukuman, mereka selalu mengikuti perkembangan di luar dengan berbagai-bagai cara. Mereka sering bertukar-tukar pikiran dalam hal apa saja - baik dalam perkara-perkara politik atau agama - bergurau, menceritakan cerita-cerita lucu untuk menghibur diri. Setelah satu tahun lima bulan dalam tahanan, Mustafa dan Zainal serta beberapa tahanan yang lain lagi dipanggil kembali ke Laksus - kali ini bukan untuk disiksa tetapi untuk ditetapkan hukuman. Mereka dihukum satu tahun delapan bulan atas kesalahan ingin mengguling pemerintah. Karena hukuman tersebut sudah dijalani satu tahun lima bulan, maka tinggal hanya tiga bulan lagi sebelum dibebaskan. Ketetapan hukuman ini mereka terima dengan senang hati. Sebab, orang-orang yang sudah diputuskan hukuman jarang sekali diganggu atau diperiksa lagi.
BAGIAN KESEBELAS
Keadaan dunia sekarang memang sangat hangat, lebih-lebih di kawasan Timur Tengah. Manakala militer Indonesia sedang menghadapi tiga front: di bagian Timur menghadapi perlawanan bersenjata dari Timor Timur dan Papua Barat, di bagian Barat berhadapan dengan Gerakan Atjèh Merdeka. Revolusi Iran sudah dimulai. Iran dibawah Shah Reza Pahlevi yang dikenal sebagai super power Timur Tengah, dengan kekuatan ekonomi dan militer yang canggih yang diperlengkapi Amerika, telah digulingkan oleh 'kaset-kaset' yang berisi pidato Khomeini dan teriakan-teriakan 'Allahu Akbar' dari rakyat Iran. Revolusi ini sering dikaitkan orang dengan Revolusi Perancis menjelang masuknya abad kedelapan belas atau Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Setahun kemudian, Revolusi ini diikuti oleh Perang Teluk antara Irak dengan Iran yang berlangsung selama delapan tahun dan memakan korban hampir dua juta jiwa manusia. Kejadian-kejadian di Teluk ini dan di bagian-bagian dunia yang lain juga telah menjadi perbualan hangat sehari-hari dikalangan para tahanan Atjèh Merdeka.
Mereka, dengan cara sendiri, mengikuti perkembangan-perkembangan di luar lewat warta berita dan surat-surat khabar yang diseludup ke dalam. Pagi itu, seperti pagi-pagi yang lain, jalan-jalan raya di sekitar penjara penuh sesak dengan bermacam-macam kenderaan yang lalu lalang: kenderaan beroda dua; kenderaan beroda tiga; kenderaan beroda empat dan kenderaan beroda delapan. Kenderaan beroda empat, bukan kereta-kereta saja tetapi termasuk juga lembu dan kerbau. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing: ada yang ke sekolah, ke kantor dan ada juga yang ke pasar-pasar. Tetapi orang-orang tahanan itu tidak dapat melihat mereka-mereka yang pulang pergi itu. Pagar tembok Penjera Kedah yang dibuat Belanda itu tingginya lebih dari lima meter. Jadi, mereka hanya dapat mendengar suara terompet, dengungan kenderaan dan melihat asap-asap yang dikeluarkan oleh berbagai-bagai jenis kanipot. Mentari bersinar dengan meriahnya, tetapi tidak semeriah burung-burung yang sedang berkicau. Udara pagi yang segar itu telah dikotori oleh mesin-mesin kenderaan. Seperti biasa, penghuni-penghuni penjara sering dikeluarkan dan dibawa ke tempat-tempat lain dengan cara bergeliran, 20 - 30 orang sekali, untuk kerja paksa: membersihkan kantor-kantor militer di sekitar, mencabut lalang, membersih lokang dan parit-parit, dan membersihkan taman-taman di depan asrama polisi tidak jauh dari Penjara Kedah. Pagi itu tibalah giliran Zainal, Mustafa dan sejumlah yang lain-lain lagi untuk kerja paksa di luar. Mereka dibawa ke suatu tempat, Asrama Pomdam, di kampung Punti, kira-kira 1500 meter dari Penjara Kedah. Disini banyak terdapat rumah-rumah militer, dan karena dekatnya tempat itu maka mereka berjalan kaki kesana. Pengawas-pengawas yang ditugaskan mengawasi mereka sering pergi ke pasar untuk minum-minum kopi - bukan mengawasi tahanan.
Tahanan-tahanan bekerja dengan bebas tanpa ada pengawasan yang ketat. Meskipun kerja paksa dan harus bekerja keras, namun kesempatan-kesempatan seperti itu mereka gunakan untuk berhubungan dengan luar: menghirup udara bebas dan membuat kontak dengan kawan-kawan atau simpatisan-simpatisan Atjèh Merdeka. Seorang anak kecil yang umurnya kira-kira delapan tahun, sedang bermain-main di pinggir jalan. Ia memperhatikan dengan teliti orang-orang yang sedang bergotong-royong itu, dan kelihatannya seperti sedang mencari seseorang. Kelakuan anak laki itu sempat diperhatikan oleh seorang tahanan dan ia segera menghampirinya. "Hei, kau cari siapa disini?" "Abang Zainal," jawab anak kecil itu. Tahanan tersebut yang kebetulan kenal dengan Zainal, mendekatinya dan berbisik bahwa seorang anak laki di pinggir jalan ingin menjumpainya. Dengan sedikit rahasia, Zainal pergi ke tempat dimana anak itu berdiri dan, dengan tidak melihat kepadanya, ia memperkenalkan dirinya. "Aku ini Zainal. Siapa yang kirim kau kemari?" "Nggak tahu. Ini ada surat untuk mu," jawab anak itu pendek dan berlari tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Dengan secepat kilat, Zainal memungut surat yang dilemparkan dari luar pagar itu dan segera ingin tahu siapa pengirimnya. Sayangnya, tidak ada tertulis apa-apa pada sampul surat tersebut dan ia terpaksa pergi ke kamar mandi untuk membacanya. Dengan perasaan tidak sabar, hati yang berdebar dan tangan yang gemetar, Zainal membuka sampul surat dan membacanya.
Darussalam, 23 April, 1978 Abang Zainal yang selalu di ingati,
Selama ini
keadaan Nur selalu dalam sehat walafiat. Harapan Nur agar Bang Zainal dan Bang
Mus sentiasa dalam peliharaan Allah.Sudah lama sekali Nur berhasrat ingin
menyurati Bang Zainal, tapi hal ini tidak memungkinkan sebab tempat tinggal kita
sangat berjauhan.
Sekarang, Nur sudah pindah ke Banda Atjèh dan
belajar di Unsyiah (Universitas Syiah Kuala) jurusan sosial. Keluarga Nur selalu
menasihati supaya Nur tidak membuat hubungan dengan kalian selama proses ini
berlangsung. Kelihatannya mereka takut sekali dengan Atjeh Merdeka, maklum kerja
di pemerintah sebagai pegawai negeri. Nur turut saja apa yang mereka katakan,
karena Nur sendiri tidak begitu paham dengan politik. Setelah kepergian kalian
berdua, keadaan kelas IIb menjadi sepi sekali. Guru-guru tidak pernah menyebut
nama kalian, seolah-seolah kalian berdua tidak pernah ada di dalam kelas.
Kawan-kawan bilang bahwa semua guru bersimpati dengan gerakan ini tetapi mereka
tidak berani melahirkannya, malah mereka melarang murid-murid berbicara tentang
politik. Pak Amin, guru Ilmu Alam, pernah mengingatkan kami: "Jangan main-main
dengan politik! Kalau kami ditangkap semua, siapa lagi yang akan mengajar
kalian? Tengok 'tu, guru PGA (Pendidikan Guru Agama) sudah tiga
diambil."
Kejadian di atas itu memang betul. Nur dengar banyak lagi
guru - lebih-lebih guru agama yang sudah ditangkap. Kasihan. Orang-orang tua pun
diambil juga. Nur tak mengerti ini semua.
Dari Nur doa saja moga-moga
cita-cita kalian berhasil.
Wassalam
Nurmala
Di dalam kamar mandi, Zainal membaca surat Nurmala bukan hanya sekali tetapi sampai tiga kali. Zainal tidak mengerti dengan isi surat yang begitu polos, tidak ada kemesraan dan tidak mengandung harapan atau pesan apa-apa. Zainal berdiri. Surat itu dimasukkan begitu saja ke dalam saku bajunya tanpa dilipat dan dimasukkan kedalam sampul lagi. "Nurmala tidak memberikan alamat tempat tinggalnya. Kenapa?" tanya hati kecilnya. "Mungkinkah dia sudah punya pacar baru yang lebih tampan dari aku, di antara sekian banyak mahasiswa di Darussalam? Atau, itu hanya tekanan-tekanan dari keluarganya saja?" Macam-macam timbul dalam pikiran Zainal: dugaan dan prasangka silih berganti. Setelah dibebaskan dari tahanan, Zainal tinggal beberapa hari lagi di Banda Atjèh dengan temannya.
Mula-mula terguris dalam benaknya untuk mencari Nurmala di Darussalam meskipun itu tidak mudah baginya. Tetapi cadangan itu kemudian dibatalkan setelah ia mengulang-ulang membaca surat tersebut. Zainal sudah yakin dan menyimpulkan bahwa surat Nurmala itu adalah tanda perpisahan mereka. Dan mulai sekarang ia bertekad untuk melupakannya. Begitu tiba di kampungnya kembali, terdapat kelainan-kelainan pada Zainal; kegairahan untuk menetap di kampung mulai menjemukan - apalagi ayah-bundanya telah memutuskan untuk mengawininya dengan Fatmawati; dan untuk terus terlibat dalam politik pun sudah bertambah kurang. Ini sangat berlawanan dengan apa yang dialami dan dianut oleh temannya, Mustafa, dan orang-orang Atjèh yang ditangkap dalam kasus ini. Mereka malah lebih militan, lebih bersemangat dan lebih sadar akan ke-Atjèhan-nya setelah merasakan pahit-getirnya hidup dalam penjara.
BAGIAN KEDUA-BELAS
Sehabis makan-makan, mereka berjalan kaki menuju sebuah hotel tidak jauh dari Lorong Mesjid Pakistan. Zainal meminta Mustafa supaya tasnya ia bawa saja, tetapi Mustafa berkeras untuk menjinjingnya sendiri meski berjalan agak pincang sedikit. Setelah pandangannya dilontarkan ke atas Mustafa, mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, receptionist itu berpaling dan bertanya kepada Zainal: "Untuk berapa malam?" "Belum tahu lagi. Tulis satu malam dulu!" jawab Zainal. Setelah itu, mereka berdua diantar oleh seorang pembantu hotel ke kamarnya, tingkat dua. Zainal membuka tingkap hotel dan berjalan-jalan sambil memeriksa kalau ada sesuatu yang tidak berfungsi. Semuanya OK, dan kemudian ia duduk di atas sebuah kursi melihat-lihat keluar melalui tingkap yang terbuka lebar itu. Manakala Mustafa, begitu masuk kamar hotel, langsung duduk di atas tempat tidurnya dan mencuba menanggalkan kasutnya. Kasut kanannya dilepaskan dengan mudah saja, tapi Mustafa tidak sanggup mencabut kasut kirinya. Zainal memperhatikan saja temannya yang sedang bergelut dengan kasutnya tanpa terpikir dalam hatinya untuk membantu. "Tolong aku, Zainal!" pinta Mustafa dan mengaduh karena sakitnya.
Dengan perlahan-lahan sekali, Zainal menolong Mustafa membuka kasutnya. Zainal terkejut mendapati kaki kiri kawannya sudah bengkak menjadi besar. Zainal kembali ke tempat duduknya. Mustafa terus merebahkan diri ke atas tempat tidur, membiarkan kedua kakinya tertuntung ke lantai, manakala tangan nya diletakkan di atas pundaknya. Tasnya yang kecil dan kotor itu dibiarkan saja terletak di atas lantai. Jelas kelihatan ia sangat letih dan mengantuk, tangannya masih di atas dahi dan matanya pun dipejamkan perlahan-lahan. Zainal tidak tahu kalau Mustafa sudah tidur atau ia sedang memikirkan sesuatu. Biarpun matanya sudah dipejam, namun badannya masih bergerak-gerak, dan sekali-sekali ia mengingau seperti sedang mengalami mimpi buruk dan mengatakan sesuatu dengan tidak terang dan susah untuk dipahami. Zainal yakin bahwa temannya itu sudah tidur. Tetapi, ia terus saja memperhatikan sesosok tubuh kecil yang terlintang di depan matanya. Ia menaruh kasihan dan merasa sedih melihat Mustafa dalam keadaan begitu, seperti anak kecil saja yang tidur terkulai sehabis menangis karena kemauannya tidak dipenuhi. "Apa yang telah terjadi ke atas teman ku ini?" Zainal bertanya kepada dirinya sendiri dan air matanya hampir saja tidak dapat dibendung lagi menahan kesedihan. Ia bangun kemudian dari tempat duduknya hendak pergi ke kamar mandi. Tanpa disengaja, ia menendang tas Mustafa yang memang tercampak di atas lantai sejak dari tadi. Kakinya sakit bukan main. Ia mengaduh, dan rasanya ia telah menendang sesuatu yang keras. Setibanya di pintu kamar mandi, ia berhenti sebentar, menoleh ke belakang, dan kembali lagi untuk memeriksa benda apa yang tersepak tadi. Perlahan-lahan, supaya tidak menggangu temannya yang sedang beristirahat, Zainal membuka tas Mustafa. Pertama didapatinya sebuah radio Transistor yang sudah tua dan, kemudian, alangkah terkejutnya ketika ia mendapati sebuah pistol Baretta didalam tas tersebut. Pestolnya diletakkan kembali di dalam tas dengan cepat-cepat. Tangannya gemetar.
Keringat dinginnya mengalir. Tidak tahu apa yang musti diperbuat. "Bahaya sekali," ia mendesah. Zainal bergegas ke kamar mandi lagi, tetapi sudah lupa mengapa dia kesana. Ia berpikir sejenak, berdiri di depan cermin dan berkaca, membetulkan rambutnya, menggaru-garu kepalanya yang jelas tidak gatal dan mengurut-ngurut keningnya seakan-akan ada sesuatu yang tidak kena dengannya. Kemudian ia mencuci tangan, membasuh muka dan mengusap rambutnya dengan tangan yang sudah basah itu. Air kerannya dibuka habis, sampai-sampai bajunya hampir juga basah. "Ada apa, Zainal?" tanya Mustafa yang sudah terbangun dengan suara air keran dari dalam kamar mandi. Zainal diam. Ia keluar dan berdiri di pintu sambil membetulkan dirinya. Rambutnya yang sudah hampir basah semua itu di belai-belai dengan tangan kirinya. "Tidak apa-apa, Mus. Hanya keran airnya yang sudah rusak itu ingin kubetulkan," jawab Zainal singkat dan bergegas ke dalam lagi. Sekarang, ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menenangkan pikirannya, menguasai keadaan dan melupakan apa yang berlaku tadi seakan-akan tidak ada terjadi apa-apa. Ia keluar dari kamar mandi, pergi ke jendela yang sudah terbuka lebar itu. Masih terdengar suara kenderaan yang sudah jarang-jarang itu. Malamnya indah dan kelam. Bintang-bintang bertaburan gemerlapan di angkasa. Angin malam bertiup perlahan-lahan dengan damainya. Tetapi kedamaian malam dan keindahan kota Kuala Lumpur yang sudah mulai sunyi senyap telah dinodai oleh kejadian-kejadian yang baru berlangsung dalam kamar hotel kecil itu. Mustafa sudah pun beristirahat, walaupun hanya 15 menit. Ia juga pergi ke kamar mandi untuk membasuh mukanya, tangannya dan kaki sakitnya yang sudah bernanah itu. "Mungkin kau harus balik ke rumah malam ini, Zainal. Anak-anak dan isterimu sedang menunggu-nunggu kepulanganmu." "Isteri dan anak-anak ku sudah biasa kutinggalkan berhari-hari," jawab Zainal spontan.
Zainal sudah berdusta kepada temannya. Ia tidak pernah meninggalkan isteri dan anak-anaknya lebih dari satu malam. Sekali Zainal pergi ke Melaka dengan teman-temannya dan menginap satu malam disana. Tidak diberitahukan isterinya. Begitu sampai di rumah paginya, tak keruan saja, isterinya langsung marah-marah. Kiranya Zainal sudah balik ke Atjèh. kelihatannya segar bugar sekarang. Demi- kian juga halnya dengan Zainal yang baru pulih kembali dari shoknya setelah mendapati pistol di dalam tas tadi. Mustafa mengambil tempat duduk di atas ranjang, manakala Zainal duduk di atas kursi. Mereka diam sejenak, saling menunggu siapa yang akan memulai pembicaraan dan mengenai apa. "Ceritakan, apa yang telah terjadi terhadap dirimu setelah kita berpisah?" Zainal mengambil inisiatif dan memulai perbualan. "Zainal, aku lebih senang kalau kita tidak membicarakan lagi masa-masa yang lalu itu," jawab Mustafa pendek. "Masa silam itu," tambahnya lagi, "sudah ber- lalu. Perjalanan kita akan tersendat-sendat kalau terlalu banyak bergelut dengan nostalgia masa-masa yang indah yang sudah lama berlalu dan tak akan kembali lagi. Lihat, betapa dunia ini sudah berubah! Apa yang benar kemarin, tidak lagi sah hari ini; apa yang dianggap skandal tahun yang lalu, akan menjadi biasa tahun mendatang.
Kita tidak boleh bertumpu melulu kepada masa-masa yang sudah hilang itu, masa-masa yang sudah menjadi kenangan dan angan-angan, yang akhirnya kita terjerumus ke alam fantasi. Oleh sebab itu, aku lebih suka kalau kita bertukar-tukar pikiran tentang persoalan-persoalan yang kita dan bangsa kita sedang menghadapi sekarang." "Memang, buah pikiran mu itu ada benar," tampik Zainal secara halus. "Tetapi, sebagai manusia biasa, kita tidak akan terlepas daripada masa silam kita. Sebab, justeru karena masa silamlah maka adanya masa sekarang; dan karena masa sekarang maka akan wujudnya masa depan nanti. Dalam hal ini, Masa lalu, masa sekarang, dan masa depan itu satu - tak dapat dipisah-pisahkan. Kita ditakdirkan berjumpa disini malam ini, itu semua karena masa silam kita. Aku sendiri telah mencuba menguburi masa lalu ku dengan memulai sesuatu yang baru, dari nol lagi, tetapi tidak pernah berhasil. Malah sampai-sampai aku dianggap oleh orang Atjèh disini sebagai expatriate murahan dan 'Atjèh Satu Macam'!" Mustafa diam saja setelah mendengar penjelasan temannya itu. Ia berpikir dan ingin mengucapkan sesuatu, tetapi lidahnya kelihatan kekang, berat sekali untuk mengutarakannya.
Mungkin ada sesuatu yang ia segan menceritakan kepada Zainal atau ingin menyembunyikannya. "Kalau begitu," Mustafa memulai kisahnya, " akan kuceritakan kepadamu tentang apa yang telah terjadi sejak kau meninggalkan kami. Tetapi pertama-tama, dengan perasaan yang berat sekali aku ingin memceritakan kepada mu tentang Nurmala. Bukankah itu yang kau tunggu-tunggu? Sebelumnya, aku minta maaf walaupun kau mungkin tidak akan memaafkan ku." Zainal tidak bereaksi apa-apa. Bola matanya yang bulat yang penuh dengan tanda tanya itu memperhatikan dalam-dalam ke atas temannya. "Apa gerangannya yang telah terjadi sampai-sampai ia meminta maaf kepada ku?" pikir Zainal. "Setelah kau pergi, aku merasakan seakan-akan ada suatu kekurangan pada diri ku. Ketika itu aku memutuskan meninggalkan kampung dan pergi ke Banda Atjèh lagi untuk mencari kerja. Nasib baik, aku mendapat kerja sebagai tukang jahit. Awal-awal, aku memusatkan pikiran ku hanya kepada kerja saja; tetapi semakin hari pergaulan ku semakin luas, dan aku sering menghadiri rapat-rapat rahasia Atjèh Merdeka dengan kawan-kawan kita yang sebelum ini sama-sama menghuni Penjara Kedah. Akhirnya, aku menjadi lebih aktif lagi dalam gerakan ini." Mustafa yang juga merokok meskipun jarang-jarang dan tidak sekuat temannya itu, mengambil sebatang rokok Gudang Garam Hitam, menemani Zainal yang sejak dari tadi hampir tidak putus-putus menghisap rokok Suryanya. Setelah tiga bulan Mustafa bekerja sebagai tukang jahit di Jalan Merduati, tanpa diduga dan tanpa diharap, seorang perempuan muda dengan seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia delapan tahun datang ke tempat kerjanya untuk menjahit seluar si anak itu. Alangkah terkejutnya ia, sebab yang dilihat itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nurmala - bekas teman sekelasnya, bekas cintanya yang sudah dua tahun menghilang dari pandangan dan ingatannya.
Kedua-duanya terkejut. Kedua-duanya tersengkak. Kedua-duanya bertatapan lama tanpa diiringi kata-kata - membisu seribu bahasa. Karena shoknya, Nurmala segera meraba tangan anak kecil itu dan bergegas keluar dari tempat tersebut. Hari itu lewat begitu saja tanpa kesan tanpa kenangan. Tetapi, keesokan harinya, anak kecil itu datang lagi, sendirian, dengan sepucuk surat dari Nurmala yang ingin menjumpainya di suatu tempat yang telah ditentukan - sehabis Mustafa bekerja. "Kami sempat berjumpa dua-tiga kali," sambung Mustafa lagi. "Mula-mula ia tidak percaya tatkala aku ceritakan tentang kepergian kau dari kampung. Tetapi, karena aku tidak pernah berbohong kepadanya, akhirnya ia percaya akan hal itu. Entah bagaimana, wallahu alam, kami ditakdirkan Tuhan menjadi sepasang suami isteri dengan tidak banyak proses dan rentetan. Namun, perkawinan kami itu tidak mendapat restu, baik dari pihaknya maupun dari pihak ku." Mustafa berhenti sebentar, menunggu reaksi kawannya. Matanya melihat ke bawah, dan dari rawut air mukanya jelas ia merasa sedih dan kesal. Rasa-rasa ia tidak sanggup meneruskan ceritanya. Manakala Zainal berusaha menyembunyikan perasaannya yang sebenar, dan tetap mendengar cerita temannya itu dengan penuh perhatian. "Maafkan aku, Zainal. Boleh aku teruskan ceritanya?" Zainal mengangguk, memberi isyarah supaya ceritanya diteruskan. Hari berganti malam dan malam berganti siang, genaplah sepuluh hari perkawinan mereka - satu perkawinan yang mesra dan penuh kebahagiaan walau pun tidak ada doa dari kedua pihak orang tua mereka. Tetapi, kebahagiaan dan kemesraan itu tidak selalu berjalan seiring dengan nasib seseorang. Nurmala sudah mulai merasa gelisah. Ia tidak merasa aman di dalam pangkuan suaminya, Mustafa. Kesibukan suaminya diluar jam kerja, pertemuannya dengan aktivis-aktivis Atjèh Merdeka yang terlalu sering itu telah membuat Nurmala bertanya-tanya. "Kenapa abang boleh terlibat lagi dalam kegiatan politik ini, setelah hampir dua tahun disiksa dalam penjara?" Mustafa menjadi terpaku.
Pertanyaan isterinya itu dirasakan seperti halilintar di tengah hari. Nurmala tidak pernah bertanya tentang politik; tentu saja hal ini telah lama ia pikirkan sebelum kata-kata keluar dari mulutnya. Mustafa berpikir bagaimana menerangkan perkara-perkara seperti itu kepada isterinya yang begitu naive tentang politik. "Ayah ku pernah bercerita bahwa seingat dia semua keturunan kami syahid di dalam perang, perang dengan Belanda, perang dengan Jepang. Manakala ayah sendiri dua kali kena peluru dalam perang DI (Darul Islam) tahun 1953, tetapi ia selamat. Tidak tahu kalau ia akan selamat juga dalam perang ini." Mustafa meneruskan ceritanya dengan suara lembut dan penuh perasaan. "Tetapi, mungkin Nur tidak tahu, dalam tubuh keluarga kami memang mengalir sejenis darah pemberontak, darah Atjèh yang tidak mau menerima perintah dari bangsa luar, yang orang Perancis mengatakan darah yang tidak dapat berdusta - 'Bon Sang Neu Peut Mentir'." "Kalau begitu, apakah Nur saja belum cukup buat abang?" tanyanya dengan air mata yang hampir saja keluar dari pelupuk matanya. Ia berkeras ingin mendapat jawaban yang memuaskan. Kali ini Mustafa benar-benar tersentuh dengan pertanyaan isterinya. Tidak mampu menjelaskan kepadanya dan membuatnya mengerti dengan politik yang sangat rumit itu. Apa lagi Nurmala diasuh dan dibesarkan di dalam keluarga yang tidak pernah terlibat dalam perang-perang apa saja. Mustafa bangun dari tempat duduknya dan memeluk isterinya kuat-kuat. Keduanya bergenang dengan air mata. "Aku mengerti perasaan mu, Nur.
Sebagaimana halnya dengan keluarga mu, perkawinan ini juga tidak ada doa restu dari keluarga ku. Aku mengharap doa dari mu untuk menjalani liku-liku hidup yang penuh berduri ini. Aku yakin, doa seorang isteri yang jujur dan setia juga akan diterima Allah. Tidak lama kemudian, kegiatan politik Mustafa dan hubungannya dengan mahasiswa-mahasiswa di Darussalam telah pun bocor kepada musuh. Beberapa sahabatnya termasuk dua pensyarah di University sudah ditangkap. Kedaan di ibu kota itu semakin hangat, patroli dan operasi kota sudah ditingkatkan karena pelajar-pelajar sekolah tinggi sudah terlibat dalam Gerakan Atjèh Merdeka. Malam sudah pukul 10.15. Mustafa dan Nurmala baru saja merebahkan diri ingin menikmati satu-satunya rahmat Ilahi - rahmatnya malam setelah bekerja keras di siang hari. Mereka sudah merancangkan pergi ke Pantai Lhok Nga yang indah itu besok pagi untuk berbulan madu, sempena genap sepuluh hari perkawinan mereka. Tiba-tiba sebuah Honda Kijang berhenti di depan rumah mereka, dan seorang laki-laki berteriak: "Mustafa, turun cepat, buka pintu!" "Siapa itu?" tanya Mustafa yang sudah terduduk di atas ranjang dengan isterinya. "Aku ini Saifuddin. Cepat-cepat keluar!" Begitu mendengar suara temannya, Mustafa langsung melompat ke bawah dengan baju tidurnya. "Kawan-kawan kita sudah diambil semua! Cepat pakai bajumu!" gasak Saifuddin lagi. Nurmala masih terduduk di atas tempat tidurnya yang empuk dan belum habis runningnya, dan menggigit jari telunjuknya yang masih berinai segar itu. Sendirian. Setengah telanjang. Bagaikan bidadari yang baru turun dari kayangan: tidak ada alamat kemana mau pergi; tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Mendengar tancapan gas Honda Kijang tadi, ia terbangun dari tempat duduknya dan bergegas ke jendela. Dengan tidak disengaja, tangannya terangkat perlahan-lahan seperti ingin melambai; bibirnya yang merah delima yang belum sempat disentuh malam itu bergerak-gerak seperti hendak mengucapkan sesuatu. Mungkin ia ingin mengucapkan kata-kata 'selamat tinggal cinta, selamat tinggal bulan madu' - Adieu l'amour, adieu la lune de miel. Walau bagaimanapun, ia tidak dapat melihat orang-orang di atas Honda Kijang yang terus meluncur hilang dalam kegelapan malam. Dengan air mata yang berlinang-linang, Nurmala kembali ke tempat tidur, berbaring, termenung mengenang nasibnya yang malang itu. Ia teringat kembali kepada kata-kata dan nasihat ayahnya dulu "jangan sekali-kali kau kawin dengan pemberontak.
Kalau kau lakukan juga, tidak ada doa dari kedua kami!" Namun demikian, Nurmala tidak pernah menyesal atas tindakannya itu - cintanya kepada Zainal dan perkawinannya dengan Mustafa. Sebab, cintanya kepada kedua pria itu bukannya karena kebetulan saja atau dari hasil pandangan pertama, tetapi ia merupakan suatu produk daripada persahabatan mereka yang murni dan suci selama dua tahun di SMA. Malam itu, masih di kota yang sama ditempat persembunyian sementara, Mustafa tidak dapat memejamkan matanya. Ia merasa sedih sekali meninggalkan isterinya yang telah memutuskan hubungan dengan keluarganya di kampung. Dalam sekejap saja mereka telah berpisah, bagaikan bayi yang dipisahkan dari kelemakan air susu ibu. Mustafa menyesal tidak dapat mengucapkan selamat tinggal kepada isterinya; ia kesal karena tidak sempat meninggalkan pesan apa-apa dan mengecup bibirnya buat terakhir sekali. Seharusnya ia sudah menyanyikan lagunya Cat Stevens atau Yusuf Islam - namanya setelah ia masuk Islam, 'Oh, baby, baby, it's a wild world'. Lagu penyanyi dan penggubah melodi Inggeris yang terkenal itu memang sangat disukainya. Mereka bertiga sering pinjam meminjam dan tukar menukar kaset lagu-lagu dari Cat Stevens. Cat Stevens menyanyikan lagu yang paling populer itu sebagai nasihat dan peringatan kepada kekasihnya tentang godaan dan cabaran dalam hidup di dunia yang kejam dan tidak adil ini, ketika ia meninggalkannya di sebuah simpang jalan sehabis mereka bercumbu rayu. Sayangnya, Mustafa tidak sempat menyanyikan lagu itu; dalam masa setengah menit ia harus menghilang dari pandangan isterinya. 'Oh, baby, baby, it's a wild world'. Kata-kata ini masih terngiang-ngiang di telinganya. "Tidak lama kemudian, aku berhijrah ke gunung," sambung Mustafa lagi sambil memperhatikan ke atas Zainal yang khusyuk sekali mendengar ceritanya. "Aku bergabung dan menyatukan diri dengan gerilja Atjèh Merdeka di hutan belantara Atjèh yang luas.
Mendengar aku telah naik ke gunung, serdadu-serdadu Indonesia Jawa kerap kali mendatangi rumah kami dan sering mengganggu isteriku. Ada berita-berita mengatakan bahwa Nurmala sering dibawa dan sering kelihatan dengan serdadu-serdadu Indonesia itu. Mula-mula, itu kuanggap khabar burung saja, apa lagi aku tidak dapat berbuat apa-apa kalaupun berita itu benar. Karena beritanya berterusan, akhirnya aku tulis sepucuk surat kepada isteriku dan kuminta penjelasan tentang khabar buruk yang kudengar itu. Setelah tiga bulan lamanya, aku menerima jawaban darinya." Mustafa berhenti disitu dulu, bangun mengambil tasnya yang masih di atas lantai, membuka kantong tas yang kecil yang kelihatannya berisi dengan surat-surat, mengambil satu daripada surat-surat itu, dan memberikannya kepada Zainal. "Ini, kau baca sendiri suratnya!" kata Mustafa. Zainal mengambil surat tersebut dan membacanya. Banda Atjèh, 15 September, 1978 Abang Mus yang Nur cintai, Nur tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan abang itu. Warkah yang hampir basah ini, bukanlah terkena hujan atau embun pagi, tapi ia telah dibasahi oleh air mata Nur yang selalu bercucuran mengingat akan abang. Oh, kalau air mata ini mempunyai warna, akan kujadikan dawat dan kutuliskan surat ini dengannya, sebagai bukti betapa putih hati ini dan betapa suci cinta Nur kepada abang.
Tetapi semua itu tidak ada artinya sekarang, semuanya telah terlambat, kapal yang kita tumpangi bersama sudah karam – tinggal hanya puing- puing saja di tepi pantai Lhok Nga itu. Maafkan Nur, abang! Nur sekarang sedang mengandung, tetapi Nur tidak tahu siapa ayah dari anak ini. Yang jelas, yang Nur kandung ini bukannya anak abang. Apa yang telah terjadi ini adalah diluar kuasa Nur. Apa yang boleh Nur buat, abang? Sudah nasib begini: ditinggalkan suami, diingkari keluarga dan dicabuli orang. Abang, maafkan Nur atas pengkhianatan ini! Masa depan kita bersama sudah hancur berantakan. Nur ingin menjalani sendirian puing-puing dari kapal karam dan kehidupan yang sudah hancur ini. Walaupun demikian, akan abang selalu dalam ingatan Nur dan cinta Nur terhadap abang tetap kekal sampai akhir masa. Nur tidak akan kembali ke kampung lagi, apalagi saudara-mara telah menjauhkan diri dari Nur. Nur ingin melahirkan anak yang Nur kandung ini sendirian, sendirian dan sendirian. Selamat berjuang, semoga berhasil Nurmala
BAGIAN KETIGA-BELAS
Perang Teluk telah berakhir. Kuwait sudah jatuh kembali ke tangan sekutu. Usaha Irak melalui serangan-serangan robot Scud untuk membabitkan Israil ke dalam perang itu menemui kegagalan. Angkatan Darat Irak yang sempat melarikan diri dikejar habis-habisan oleh tentera sekutu dari udara - sedikit sekali yang selamat. Ratusan ribu serdadu Irak terkubur bersama perlengkapan mereka di tengah- tengah gurun pasir yang luas itu. Perang Teluk itu diikuti oleh perang-perang saudara: di Selatan, serdadu Irak sedang membasmi orang-orang Syi'ah yang mencuba memberontak; manakala di Utara dimana bangsa Kurdistan telah lama mengidam-idamkan negaranya sendiri yang merdeka, tidak melalaikan kesempatan ini ketika melihat pertahanan Irak dalam keadaan lemah dan kucar kacir. Namun demikian, bangsa Kurdistan terpaksa melarikan diri ke perbatasan Turki dan lebih sejuta rakyatnya terpaksa hidup di diaspora. Malapetaka ini bukan saja diderita oleh rakyat Irak atau Kurdi semata-mata, tetapi juga oleh setengah juta orang Palestina yang menetap di Kuwet. Mereka diperlakukan dengan kejam sekali, diusir dari negara itu dan banyak yang dipenjara. Mereka dituduh bersyubahat dengan Saddam Husin, sebab pemimpin-pemimpin Palestina berdiri di pihak Irak dalam konflik tersebut. Demikianlah komentar Editorial majallah bulanan berbahasa Arab, AL- JUMHURIYAH AL-ARABIYAH AL-JAHILIYAH tentang berakhirnya Perang Teluk.
Peristiwa berdarah atau lebih tepat lagi penyembelihan di Atjèh telah dibayangi oleh kejadian-kejadian di Timur Tengah itu. Mata dunia sedang dipusatkan seratus peratus ke Teluk Persi dan huru-hara di bagian-bagian dunia yang lain; dunia sedang berbulan madu dengan Aung San Suu Kyi yang melawan junta di Burma; negara-negara Barat sedang sibuk dengan protes pelajar-pelajar China yang sedang menuntut dibenarkan demokrasi di negara itu. Tetapi nasib bangsa Atjèh, nasib puluhan ribu rakyat Atjèh yang tidak berdosa yang telah dibunuh oleh regime perampok Indonesia itu, dan entah berapa banyak lagi yang akan dibunuh, telah diserahkan bulat-bulat kepada NGO dan badan-badan hak asasi manusia saja. Ratapan dan rintihan rakyat Atjèh supaya PBB campur tangan dalam pelanggaran hak-hak manusia ini tidak diambil hirau. Manakala Amnesty International, Asia Watch dan rakan-rakan Atjèh seperti TAPOL, turun ke lapangan membuat lapuran-lapuran lengkap tentang kebrutalan dan kebiadaban yang sedang terjadi di Atjèh. Parlemen Eropa - European Parliament - yang berpusat di Strasbourg dan Komisi Hak-Hak Asasi Manusia - Human Rights Commission - di Geneva telah berkali-kali membuat Resolusi mengutuk pencerobohan Indonesia di Atjèh. Tetapi bagi perampok, pencuri dan pembunuh, apa artinya kutukan itu?
Dalam rapat khas Atjèh Merdeka minggu yang lalu di Paya Jaras, turut hadir kira-kira empat puluh anggota teras Atjèh Merdeka termasuk pemimpin-pemimpin dan pribadi-pribadi yang berpengaruh dalam masyarakat Atjèh disini. Mereka membincangkan berbagai-bagai topik tentang perkembangan Atjèh Merdeka di dalam dan di luar negeri. Turut hadir dalam pertemuan itu adalah Usman, temanya Zainal. Sebagaimana biasanya, malam itu ia diminta memberi briefing tentang perkembangan dunia dewasa ini. Setelah Uni Soviet bubar, Usman memulai pidatonya, dan bebasnya negara- negara Eropa Timur dari genggaman nya, maka berakhirlah apa yang dipanggil dengan 'Perang Dingin' - Cold War. Rentetan dari kejadian tersebut diikuti oleh tumbangnya Tembok Berlin yang megah itu yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi lambang pemisah antara Barat dengan Timur - antara blok kapitalis dengan komunis. Sekarang blok-blok itu sudah tak ada lagi; semua hidup di dunia yang satu yang kemudian diberi nama dengan New World Order - Aturan Dunia Baru - yang langsung dipimpin oleh Amerika. Tetapi banyak juga yang telah mengganti namanya menjadi New World Disorder - Kerusuhan Dunia Baru. Tujuan daripada NWO ini, disamping untuk menyatukan 'hak' dan 'kuasa', juga untuk menghukum pemerintah-pemerintah yang zalim dimana saja di dunia ini. Dan, sebagaimana dimaklumi, contoh-contoh pemerintah zalim menurut kriteria NWO yaitu Iran, Irak, Lybia, Sudan, Korea Utara dan lain lagi. Tujuan yang lain lagi adalah untuk memajukan pasar bebas (free market) dan demokrasi.
Tetapi, sebagai diketahui, demokrasi perlu oposisi dan Aturan Dunia Baru itu tidak mempunyai oposisi karena bahaya komunisme – Red Menace - sudah tidak ada lagi. Kalau begitu, oposisi harus diciptakan. Sebab, menurut filosofi Barat, tidak ada demokrasi tanpa oposisi. Sekarang NWO sudah berhasil menciptakan satu oposisi yang diberi nama Green Perils - Bahaya-Bahaya Hijau - Bahayanya Islam. Supaya tidak terjejas semua orang Islam, lebih-lebih rakan-rakan NWO di Timur Tengah, maka Bahaya-bahaya Hijau itu harus dibatasi dengan orang-orang Islam fundamentalis sahaja - orang-orang Islam yang berpegang kepada Al-Quran dan percaya penuh kepada kandungannya. 'Muslim Fundamentalists' adalah kata-kata yang kerap kali tampil dalam media-media dunia, khasnya media Barat dan Amerika, dan khabarnya ia lebih bahaya daripada ancaman komunis... "Apa hubungan semua ini dengan Atjèh Merdeka?" tanya seseorang dalam rapat tersebut. Orangnya berkulit hitam, kurus panjang, berusia kira-kira 50 tahun. Tak banyak yang kenal dengan dia, dan nampaknya ia baru datang dari Atjèh. Setiap perkembangan dan setiap perubahan yang terjadi di dunia ini, Usman menerangkan, semua ada hubungannya dengan Atjèh Merdeka, dan bangsa-bangsa lain yang tertindas seperti kita.
Tumbangnya komunisme, sebagai contoh, telah membuat gerakan-gerakan melawan kapitalisme di Amerika Latin, Afrika dan Asia menjadi murat-marit, kehilangan sumber keuangan dan bantuan luar. Tapi, dalam hal ini Gerakan Atjèh Merdeka tidak terjejas. Ini hanya satu pengecualian. Sebab dari awal-awal lagi, politik kita tidak pernah bergantung kepada pihak-pihak tertentu. Kita selalu mendekati gerakan-gerakan yang senasib dengan kita, dan pihak-pihak atau negara-negara yang menghormati hak kemerdekaan satu-satu bangsa. Sebaliknya, sambung Usman lagi, perkembangan-perkembangan di Asia Tenggara selama sepuluh tahun ini sungguh merugikan kita. Kalau dilihat sepintas lalu kerja sama serantau antara negara-negara ASEAN, maka jelas kelihatan bahwa ASEAN ini tidak bersimpati dengan gerakan kita dan gerakan-gerakan kemerdekaan lain di rantau ini, seperti OPM, MNLF, PATTANI, Timor Timur dan Sulawesi Merdeka.
Kita telah mendengar komentar Ali Alatas dalam temu-duganya dengan wartawan FAR EASTERN ECONOMIC REVIEW ketika MNLF datang ke Jakarta melalui organisasi OIC: 'Negara-negara ASEAN bersatu dalam satu perkara: kami tidak akan membantu puak-puak separatis...Kami katakan kepada mereka (Moro) bahwa kami dengar keluh kesah mereka. Tetapi, kalau mereka melintasi garis dan menyatakan merdeka, itu lupakan saja. Kami tahu bahaya separatisme itu. Itulah sebabnya, kami cepat-cepat membantu Papua New Guinea lawan gerakan kemerdekaan Bougainville.' Kita telah mendengar juga tanggapan-tanggapan pemuka tinggi negara ini, ketika pengungsi-pengungsi Atjèh yang terdiri dari orang tua, perempuan dan anak-anak mencari perlindungan politik disini. 'Kami tidak mengakui permohonan mereka untuk perlindungan politik dan telah memutuskan untuk mengirim balik...Kami tidak akan membantu puak-puak separatis'. Demikian juga halnya dengan OPM, bagaimana mereka diperlakukan oleh 'saudara-saudaranya', PNG, yang tinggal di sebelah Timur itu. Tetapi cuba bayangkan! Kalau seandainya Atjèh Merdeka ini telah lahir tahun-tahun 60-an - di masa-masa konfrontasi - tentu saja kita sudah menang pada masa itu. Tidak ada halangan untuk mendapat bantuan apa saja dari sini, bukan? Tapi apa mau dikata? Satu hari esok masih lebih berharga daripada satu abad yang lalu.
Hanya saja kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Untuk tidak mengulangi lagi hal-hal yang demikian, kita musti selalu berwaspada dengan perkembangan, perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang sedang terjadi didepan mata kita sekarang." Untuk membebaskan satu bangsa dari penjajahan asing dan membebaskan satu negara daripada pendudukan bangsa luar, ini bukan satu kerja yang mudah, yang enak-enak saja: cukup dengan berpedoman kepada textbook- textbook yang sudah usang, menghafal diluar kepala dengan rajinnya paragraph dan piagam-piagam PBB tanpa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan masa, dan terus bermasa bodoh dengan apa yang terjadi di sekeliling kita. Perjuangan kita ini membutuhkan tenaga-tenaga ahli, diplomat-diplomat yang sanggup mengkaji dan menganalisa setiap kejadian dan perubahan dalam politik dunia. Jadi, jelas sudah bahwa ini bukannya kerja Don Quixote. 'Don Quixote'(baca: Don Qisjot) adalah sebuah novel pengembara yang ditulis oleh pengarang Spanyol yang paling masyhur, Miguel de Cervantes, pada abad pertengahan. Novel berkenaan mengisahkan tentang seorang bangsawan dusun yang tekun sekali membaca cerita-cerita pengembara. Karena begitu tekunnya, akhirnya ia terjerumus ke alam khayalan dan percaya bahwa yang dibacanya itu adalah kejadian-kejadian yang sebenar. Suatu hari Don Quixote memutuskan untuk pergi mengembara, dengan seorang 'body-guard' dan seorang pembantu. Karena telah terpengaruh dengan buku-buku yang dibacanya, maka ia selalu salah mengerti dengan kenyataan-kenyataan yang ia hadapi; ia tidak dapat lagi membedakan antara teori dengan praktik, antara cerita dengan kejadian yang sebenar.
Dalam novel ini, Don Quixote telah menjadi seorang idealist - seorang yang selalu berjuang menentang apa yang dianggapnya curang dan tidak adil, tanpa menggunakan akal yang sehat, tanpa menyesuaikan diri dengan masa dan keadaan yang berlaku, dan tanpa memikirkan akibat-akibat buruk yang timbul karena tindakannya. Gerakan kita ini, Usman menekankan, musti berjalan seimbang - di dalam dan di luar negeri. Maksud saya di Eropa. Kita tahu bahwa pusat dunia ini bukanlah di Asia Tenggara, tapi di Eropa dan Amerika. Dan, sepertimana dimaklumi, tidak ada satu gerakan kemerdekaan dewasa ini boleh menang tanpa memperoleh pengakuan internasional, walaupun mempunyai senjata yang lengkap. Perhatikan negara-negara Baltik, dan negara-negara bekas Uni Soviet yang lain! Mereka semua memperoleh kemerdekaan bukan dengan senjata, tetapi dengan pengakuan negara-negra Barat.
Jadi mahu tidak mahu, politik ini musti dijalankan. Bagi sebagian mereka yang baru datang dari kampung, memang, pidato Usman yang mengaitkan Atjèh Merdeka dengan kejadian-kejadian di luar negeri itu kadang-kadang sukar untuk dipahami; atau mungkin juga mereka tidak mau tahu tentang perjuangan di luar; atau barang kali tingkah mereka itu disebabkan oleh pahitnya pengalaman-pengalaman mereka di Atjèh. Mereka telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana penyiksaan, penganiayaan dan pembunuhan secara brutal ke atas orang-orang kampung yang tidak berdosa. Dengan demikian, maka pikiran mereka telah dipusatkan semata-mata hanya untuk memikirkan pertahanan di dalam: bagaimana mempertahankan diri mereka dan bagaimana melindungi orang-orang kampung dari tentera Indonesia yang buas itu. Kalau memang mentalitet mereka telah diprogramkan kesitu, tentu saja apa pun kemajuan di luar, untuk jangka pendek, tidak begitu penting kepada mereka.
BAGIAN KEEMPAT-BELAS
Zainal memasangkan sebatang rokok surya di mulutnya. Asapnya dihembus kuat-kuat, terbang bergumpal-gumpal ke seluruh polosok kamar hotel sebelum dihembus lagi keluar melalui jendela yang masih terbuka itu. Pikirannya masih kepada surat Nurmala yang baru dibaca tadi, dan ia masih kenal dengan tulisannya yang halus, cantik dan berukir. Ia terbayang kepada surat Nurmala yang dikirim kepadanya dalam penjara 13 tahun yang lalu. Zainal teringat lagi kepada pistol di dalam tas, pikirannya resah, ingin menyembunyikan tetapi susah. "Bagaimana aku harus mengatakan kepada Mustafa supaya tidak menyinggung perasaannya?" pikir Zainal dalam-dalam. Kali ini, persaannya dapat dibaca oleh Mustafa. "Nampaknya kau gelisah, Zainal. Kenapa tidak pulang saja ke rumah!" "Mus, boleh aku tanya satu hal yang sensitif?" "Sensitif? Bukankah apa yang sudah kuceritakan itu semuanya cukup sensitif," sambut Mustafa lagi. "Kenapa kau membawa pistol kemari? Kau tahu, senjata, dadah, hukumannya gantung!" "Mustafa tidak menjawab. Ia tunduk tersipu. Matanya yang merah itu melihat ke kiri ke kanan dengan perasaan bersalah. Mungkin juga ia sedang mencari-cari jawaban yang tepat untuk temannya. "Zainal," Mustafa melihat ke atas temannya dengan pandangan yang tajam dan diiringi dengan senyum yang dipaksa. "Kau tahu bahwa hidupku ini tak ubahnya seperti ikan yang sudah terlepas dari mata kail kesekian kalinya.
Walaupun hidupnya bebas, boleh bertenggar dan berenang kemana-mana, tetapi ia selalu berhati-hati dan waspada. Setiap benda yang dilihatnya yang menyerupai mata kail, musti dianggap mata kail - musuh. Ikan tersebut sudah menjadi paranoid, tidak dapat hidup normal lagi. Karena isang dan mulutnya sudah rusak, telah membawa bekas dalam hidupnya, maka makanan pun tidak normal lagi." Mustafa menoleh kepada Zainal, menunggu reaksinya, dan pandangan mereka bertemu. Zainal sangat menjaga perasaan kawannya itu, tidak sekali kali ingin menyakiti perasaannya. Sekaligus ia tahu bahwa pertanyaan yang satu ini akan menyinggung perasaannya, namun itu satu hal yang harus diterima demi kebaikan mereka bersama. Karena tidak ada reaksi apa-apa dari Zainal, maka Mustafa menyambung lagi hikayatnya. "Perang itu," katanya, "perkara hidup matinya satu-satu bangsa. Dalam peperangan, kita tidak tahu 'siapa-itu-siapa'; antara adik-abang, guru-murid, teman karib, semua boleh jadi musuh dan semua boleh jadi teman.
Jadi setiap individu yang terbabit dalam gerakan ini harus saling mencurigai walaupun sesama teman. Mulai dari rimba raya Atjèh sampai ke Malaysia, aku tidak tahu apa yang mungkin akan terjadi." "Tahukah teman mu yang dua lagi itu bahwa kau membawa pistol," tanya Zainal. "Tidak! Kalau mereka tahu tentu mereka melarangnya." "Jadi, bagaimana pendapatmu? Apa yang telah kau pikirkan? Tak kan kau mau berjalan-jalan di Kuala Lumpur dengan pistol di dalam tas! Itu namanya hara kiri!" Kali ini Zainal lebih tegas dari yang sudah sudah. Suaranya tinggi. Ia menginginkan jawaban yang tidak berbelit-belit dari Mustafa. Mustafa pun tahu perasaan temannya, dan ia mulai juga berpikir untuk menyelesaikan persoalan rumit itu. "Kau tidak perlu susah-susah, Zainal. Setiap permasalahan ada penyelesaiannya. Tugas aku satu minggu di Malaysia sudah selesai. Malah sudah hampir dua minggu sejak kami berpisah dengan Komando Pusat. Aku musti pulang dengan segera. Memang tugas ku kesini bukan untuk berlama-lama: bukannya untuk mencicipi lezatnya nasi lemak, enaknya nasi pulut, sedapnya sate, hangat nya mie Bandung. Banyak yang telah dikirim ke negeri ini tapi sedikit sekali yang kembali lagi. Berpindah dari rimba raya Atjèh ke tengah-tengah kota Kuala Lumpur persis seperti melepaskan kembali seekor itik yang hendak disembelih ke dalam kolam renang yang penuh dengan bermacam-macam ikan. Tidak! Aku harus balik sekarang juga. Kau tolong aku memanggil taksi besok pagi." Zainal tidak mengerti dan tidak menduga apa yang terkandung dalam pikiran temannya itu. Ia tidak paham dengan keputusan Mustafa yang begitu cepat dan radikal. Ia berusaha membatalkannya tetapi tidak berhasil.
Mustafa bersikap keras dengan keputusannya; ia kecewa dengan teman-temannya yang lebih awal dikirim ke negeri ini, berlamban-lamban disini; malah ada yang tak pernah balik lagi. Apalagi sewaktu rapat di Gombak tadi, ada seseorang bertanya kepadanya berapa lama ia akan tinggal disini, dan ia menjawab "satu minggu". Yang bertanya tadi ketawa sinis, katanya ia telah sering kali mendengar kata-kata yang serupa, namun kenyataannya lain pula. "Aku tidak ada kuasa untuk membatalkan rencana mu," kata Zainal. Tapi aku sedia mengantarmu ke Port Kelang besok pagi." Zainal melihat jam tangannya yang sekarang menunjukkan pukul 3.15 pagi. Pukul lima besok ia akan mengenderai temannya ke suatu tempat dimana ia mendarat kemarin malam. Mustafa merebahkan diri ke atas tempat tidur, matanya terbelalak ke loteng, seakan-akan ia sedang merancangkan sesuatu. Zainal pun berusaha memejamkan matanya di atas kursi dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba ia bergumam dan dari mulutnya keluar kata-kata yang juga sempat didengar Mustafa. "SEMALAM DI MALAYSIA?" "Ya. SEMALAM DI MALAYSIA," desah Mustafa menarik nafas panjang. Mustafa bangun dan mengambil radio transistornya di dalam tas - satu radio yang telah berjasa banyak kepadanya. Selama di rimba Atjèh, ia selalu mendengar siaran BBC, ABC dan lain-lain lagi dalam bahasa Melayu. Kini ia sedang mencari-cari gelombang yang bagus untuk mendengar musik-musik larut malam. Tiba-tiba, ia berhenti mencarinya ketika mendengar suara Lionel Ritchie yang mengelinting memecahkan kesunyian malam dan meneutrali- sasikan semua kejadian yang berlaku sejak pertemuan kedua lelaki itu di Gombak tadi. Sebuah melodi yang kedua mereka boleh menghafal dluar kepala seluruh teksnya. Hello, I,ve just got to let you know 'Cause I wonder where you're 'Cause I wonder what you do Are you somewhere feelin' lonely Or is someone lovin' you… "Ah, entahlah , Mus! Apa yang terjadi terjadilah - que sera sera. Kalau dilihat sepintas lalu apa yang terjadi di atas planet kita ini, pembunuhan dan pembantaian ke atas pihak-pihak yang lemah oleh yang lebih kuat, kekejaman dan ketidak-adilan yang merajalela dimana-mana, kadang-kadang aku kurang yakin bahwa, selain dunia akhirat, planet yang kita diami ini adalah dunia yang terbaik. Kadang kala aku tidak begitu yakin dengan pendapat Pangloss dan muridnya, Candide (baca: Kandid), yang menyimpulkan bahwa semua konflik, malapetaka dan musibah yang terjadi di atas dunia ini, akhirnya sudah pasti membawa hasil yang baik." Candide, dalam novel Voltaire (seorang penulis dan filosof Perancis pada pertengahan abad ke-17), CANDIDE ET OPTIMISM, adalah seorang anak yatim-piatu yang dididik dan diasuh di dalam sebuah istana oleh seorang guru falsafah, Pangloss. Pangloss percaya bahwa dunia ini adalah dunia yang paling sempurna dan apa pun yang terjadi,semua berkesudahan dengan baik.
Awal-awal, Candide percaya kepada ajaran gurunya, tetapi pengalaman-pengalaman pahitnya telah merubah pendirian dan kepercayaannya. Ketika Candide didapati oleh pemilik istana mencintai anak perempuannya, ia di usir dan ditendang keluar istana dengan serta merta. Ia pergi mengembara, dipaksa menjadi serdadu oleh orang-orang Bulgaria, mengalami keganasan dan kebrutalan perang; ia tiba di Portugis ketika negara itu sedang dilanda gempa bumi yang paling dahsyat, menyaksikan orang yang dibakar hidup-hidup karena tidak sepaham dengan gereja Katolik, dan banyak lagi malapetaka dan ketidakadilan yang ia alami. Pengalaman-pengalaman pahit inilah yang membuat Candide meninggalkan ajaran gurunya. Ia menyimpulkan bahwa dengan pikiran yang rasional dan bekerja keras, orang boleh memperbaiki nasibnya dan menciptakan dunia yang sempurna. "Memang," komentar Mustafa atas pernyataan Zainal tadi, "perang atau revolusi itu belum tentu akan membawa hasil yang baik, tetapi ia sudah pasti akan membawa suatu perubahan - perubahan berpikir dan kehidupan satu-satu bangsa. Sejak dunia ini tercipta, perang atau konflik sudah sentiasa wujud. Ia merupakan tanda-tanda kebesaran Ilahi dan ciri-ciri tetap daripada kehidupan di dunia ini. Tuhan telah menciptakan malam menuju siang, menentukan kelahiran dan menetapkan kematian, mengalihkan kelam menjadi terang, baik menjadi buruk, tenang dan kacau. Bukankah pasangan-pasangan yang berlawanan ini semua tanda-tanda kebesarannya? Memang dunia yang sempurna, yang ideal itu tidak pernah wujud sendiri.
Tetapi, manusia dianjurkan supaya mewujudkannya. Bukankah Allah telah mengatakan bahwa Ia tidak akan mengubah nasib satu-satu kaum atau bangsa sehingga mereka sendiri mengubah nasib diri sendiri. Bila seseorang ingin kelapa muda, misalnya, ia harus memanjat pohon kelapa tersebut. Ketika memanjat, kadang-kadang ia digigit seranggga api dan terasa sakit sekali; sekali-sekali ia jatuh dari pokok kelapa, rusak, patah, atau mungkin juga mati. Tapi ini tidak menunjukkan bahwa dunia ini tidak sempurna, karena ia mati dalam mencapai cita-citanya ingin makan kelapa muda. Saya kira ajaran Pangloss itu ada benarnya, sesuai dengan ajaran Islam kita. Memang Tuhan telah menciptakan dunia ini dengan sempurna, tetapi tangan-tangan manusia yang jahil dan kotor itu yang telah merusakkannya."
BAGIAN KELIMA-BELAS
Pagi itu udaranya agak sejuk. Hujan gerimis membasahi jalan raya yang luas dan bersih itu. Proton Saga Zainal meluncur dengan lajunya menuju Port Kelang - perjalanan terakhir buat Mustafa? Satu perjalanan yang sangat membosankan. Mereka tidak banyak berbicara. Keadaannya seperti sepasang suami-isteri yang pergi tidur sehabis bertengkar, atau mungkin juga mereka telah kehabisan bahan untuk dibincangkan. Mustafa melihat kiri kanan, menikmati keindahan alam Malaysia dengan perumahan yang cantik dan bangunan-bangunan yang megah dan perkasa. Sekali-sekala kepalanya direndahkan supaya dapat melihat puncak-puncak bangunan tinggi yang menjulang ke angkasa di sepanjang jalan yang mereka lalui. Mustafa sudah lupa bahwa yang menyusun batu-bata untuk bangunan-bangunan itu semua, semisal PETRONAS, adalah 'pendatang-pendatang haram' atau 'ughang sebeghang', termasuk juga saudara-saudaranya dari Atjèh. Bukannya bumiputera! "Kalau kita sudah merdeka nanti, akan kita bangun Atjèh lebih dari ini," ucap Mustafa tiba-tiba.
Zainal mengangguk, mengiakan saja, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Barangkali ia sibuk dengan pikirannya sendiri: memikirkan nasib temannya dan mengingat janji dengan isterinya untuk tidak balik lambat tadi malam. "Kau tahu, Mus," komentar Zainal setelah lama terdiam dan berpikir. "Setiap apa yang dianggap atau dinamakan pembangunan, kemajuan dan termasuk juga peradaban, itu selalu membutuhkan 'buruh kasar', yang dulu dipanggil 'budak-budak'. Begitu yang telah terjadi di Mesir kira-kira 5000 tahun yang lampau, ketika orang-orang berkulit hitam membangun PIRAMID-PIRAMID yang telah menjadi mukjizat dunia itu. Orang sudah lupa kepada jasa besar dan pengorbanan orang-orang berkulit hitam dalam menegakkan dan menyusun batu-batu bangunan yang beratnya dua-tiga ton satu biji. Batu-batu yang begitu besar dan berat diangkut dan diheret dengan bahu dan tangan-tangan mereka; orang sudah lupa berapa banyak rakyat India yang terkorban ketika Syah Jihan membangun TAJMAHAL untuk permaisurinya. Atau rakyat China ketika membangun GREAT WALL-nya. Tetapi orang masih ingat bagaimana peradaban dan kemakmuran orang Barat itu diperoleh: seluruh Benua Afrika diperkosa, penduduk aslinya dikapalkan untuk diperjual beli, dan hasil buminya dikuras; seluruh Amerika diperas dan penduduk aslinya (orang Indian) yang seharusnya sekarang sudah berjumlah 400 juta jiwa, kini hanya tinggal beberapa puluh juta saja; seluruh penduduk asli Pulau Tasmania dibunuh, tinggal seorang wanita saja yang mati karena sudah tua. Mayatnya, kalau saya tidak salah, sekarang disimpan di sebuah museum di London, sebagai 'contoh barang'. ”Kadang-kadang aku tak habis pikir," sambung Zainal lagi setelah berhenti sejenak, " betapa mungkin satu bangsa, seperti bangsa Atjèh, yang sudah beratus-ratus tahun mempertahankan kemerdekaannya dari segala pencoro-bohan asing, akhirnya jatuh ke tangan satu bangsa yang tidak pernah merasai nikmat merdeka dan selalu diperbudak oleh bangsa asing." "Ah, itu kan salah kita sendiri," djawab Mustafa spontan. "Ketika penjajahan asing terpaksa gulung tikar dan lari tunggang langgang dari Atjèh, pemimpin-pemimpin Atjèh pada waktu itu menjadi panik dan mengidapi penyakit amnesia.
Mereka tidak tahu apa yang harus dibuat; mereka sudah lupa kepada sejarah dan bendera pusaka nenek moyangnya yang sudah berabad-abad berkibar di bumi persada Atjèh; mereka telah terpukau dengan kata-kata manis dan janji muluk dari Soekarno yang katanya Indonesia akan menjadi lebih kuat dan lebih kaya kalau semua bekas jajahan Belanda - dari Sabang sampai ke Maureke - bersatu dibawah nama negara pura-pura yang baru diciptakannya itu, dan dibawah naungan bendera merah putih yang tidak ada basis dalam sejarah bangsa-bangsa di kepulauan Melayu kita ini." "Walaupun demikian kenyataannya," potong Zainal, "saya kira kita tidak perlu membangkit-bangkit lagi kesalahan politik pemimpin-pemimpin tahun 45, sebab itu akan boleh menjejaskan kedudukan kita sekarang. Bangsa-bangsa lain yang sedang mengalami nasib yang seperti kita sekarang juga telah melakukan kesalahan-kesalahan yang serupa. Hanya saja kita dapat mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan tersebut supaya tidak terulang lagi di masa-masa mendatang. Kita masih ingat kepada kata-kata Jenderal Van Sweaten ketika menegur Pemerintah Belanda setelah kekalahannya dalam Perang Bandar Atjèh tahun 1873. Katanya satu-satu bangsa tidak akan mati karena menyadari kesalahan yang dibuatnya, tetapi akan mati kalau kesalahan itu terus dilakukan." Memang setelah pasukan Belanda, dibawah pimpinan Jenderal Kohler, menderita kekalahan yang memalukan di tangan bangsa Atjèh, Pemerintah Belanda menyusun kembali serangan kedua dibawah pimpinan Jenderal Van Sweaten - seorang Jenderal tua yang sangat berpengalaman. Begitu saja mendarat di pantai Atjèh, Van Sweaten langsung menyatakan kepada dunia bahwa ia telah 'menaklukkan' Kerajaan Atjèh dan namanya sudah mulai dikenal sebagai 'Penakluk Atjèh.' Tetapi propaganda Van Sweaten untuk menyenangkan hati bangsa Belanda setelah kekalahan besar dalam serangan pertama telahpun bocor. Setahun kemudian Van Sweaten terpaksa mengakui bahwa ia sebenarnya tidak pernah menaklukkan Atjèh dan bangsa Atjèh itu tidak akan dapat dikalahkan di Medan Perang. Oleh sebab itu ia meminta kepada bangsanya, bangsa Belanda, supaya jangan lagi menjuluki ia sebagai 'Penakluk Atjèh'.
Kemudian ia menghimbau supaya Pemerintah Belanda lebih baik menarik diri dari Atjèh dan mengakui kembali kemerdekaan Atjèh. Van Sweaten begitu yakin pada pendiriannya sehingga ia menyusun satu gerakan politik untuk mempengaruhi Pemerintah Belanda supaya mengikuti kebijaksanaan politik yang dianjurkannya. Jenderal Van Sweaten selanjutnya berkata: "Une nation ne meurt pas de reconnaitre une faute, mais d'y persister" - satu bangsa tidak akan mati karena menginsafi satu kesalahan yang dibuatnya, tapi akan lenyap jika terus-menerus membuat kesalahan itu! Sebagaimana diketahui, Pemerintah Belanda tidah mengindahkan nasihat Van Sweaten ini dan peperangan pun merembak terus sampai menjelang Perang Dunia Kedua - lebih 60 tahun lamanya. Setelah menelusuri adres yang ada pada Mustafa, mereka tiba di sebuah tempat dimana Mustafa berteduh ketika mendarat disitu malam kemarin. Pemilik rumah itu, Wagiman, seorang keturunan Jawa yang berumur kira- kira 58 tahun, sangat peramah. Katanya, ia bangga sebab rumahnya yang sederhana dan luas itu kerap kali dinginapi dan dikunjungi oleh aneka suku bangsa yang ia tidak kenal sebelumnya. Kelihatannya, pencaharian orang tua itu hanya mengatur perjalanan tongkang-tongkang seludup antara Port Kelang - Tanjung Balai, di Sumatera bagian Timur. "Ada satu perahu yang akan bertolak nanti malam," ucap Wagiman sambil meneguk tehnya yang masih panas dan berasap-asap itu. "Tetapi kalau kalian mau istirahat dulu, selepas dua hari ada satu lagi yang akan berlayar." Zainal melihat ke atas Mustafa, menunggu reaksinya atas usul Wagiman tadi. Mungkin Zainal juga mengharap temannya itu mau tinggal dua hari lagi sebelum berangkat pulang. Tetapi Mustafa memutuskan untuk berangkat nanti malam. Dan setelah minum-minum, Zainal pun minta izin untuk pulang ke rumahnya yang kebetulan tidak jauh dari rumah Wagiman - kira-kira lima belas menit berkereta. Namun ia tidak memberitahukan kepada Mustafa yang ia tinggal tidak jauh dari situ, sebab ia tidak mau Mustafa bertemu dengan isterinya.
Sebelum berangkat, Zainal berjanji akan kembali lagi pukul delapan malam nanti. Dua jam sebelum berlayar. Di rumahnya, Rafiah dua kali terbangun tadi malam: sekali pukul dua dan sekali lagi pukul lima. Bangun yang kedua kali ia tidak dapat tidur lagi, memikirkan suaminya yang tidak pulang tanpa menelfon atau memberitahunya. "Apa yang telah berlaku ke atasnya?" pikir Rafiah dalam-dalam. "Belum pernah terjadi berwirid Yasin sampai pagi," keluhnya lagi menarik nafas panjang. Ia susah, resah dan gelisah merenung hal itu. Hendak telefon Usman pun masih terlalu pagi dan mengganggu orang tidur, apalagi hari-hari libur begini. "Ah, keterlaluan sangat," desahnya lagi. Zainal tiba di rumah kembali. Isterinya yang sudah bangun tadi, pergi lagi ke tempat tidur - berpura-pura ngantuk - ketika mendengar suara keretanya meluncur masuk kandang. Anak-anaknya masih tidur; mereka tidak tahu kalau ayahnya tidak pulang semalam. Zainal memasuki kamar anak-anaknya dan mendapati mereka masih tidur terkulai. Perlahan-perlahan ia membuka pintu kamar tidurnya, melihat isterinya yang sedang 'nyenyak tidur'. Dengan tidak membuang-buang masa, Zainal langsung ke kamar mandi untuk mandi supaya tidak begitu ketara pada isterinya bahwa ia tidak tidur tadi malam. "Kemana saja tadi malam, tidak pulang-pulang dan tidak telefon ke rumah?" periksa isterinya dengan tangan kirinya ke pinggang, ketika beradu dengan Zainal yang keluar dari kamar mandi, dengan handuk di tangan sedang mengeringkan rambutnya. "Ada hal yang mustahak sedikit. Ada kawan-kawan yang perlu dihantar dan tidak ada telefon di rumah mereka. Makanya aku tidak boleh telefon tadi malam." Zainal memberi alasan kepada isterinya dengan suara lembut. "Eloklah! Lebih mementingkan kawan dari keluarga. Sepulang dari rumah pak Dolah nanti, bagikan aku kunci keretanya. Aku nak pergi shoping dengan budak-budak 'tu!" bentak isterinya lagi. Zainal sudah terbiasa dengan cara isterinya. Ia malah sudah mengharap lebih dari itu dan bersedia kalau isterinya merepek karena ia tidak pulang tadi malam. Zainal memang pandai mengambil hati isterinya dan ia tahu apa yang musti dibuat kalau isterinya sedang merajuk. Sarapan pagi dibuatnya sendiri, bukan untuknya saja tetapi juga untuk isteri dan anak-anaknya. Itu sering ia lakukan kalau isterinya dalam keadaan murung dan bermasam. Pada pesta adiknya pak Dolah, Zainal berusaha tidak memberikan kesan kepada kawan-kawanya bahwa ia tidak tidur semalam. Tetapi hal itu berat sekali, sebab pikiran Zainal masih tertumpu kepada temannya, Mustafa, kampung halamannya, dan kisah-kisah lama yang sudah timbul kembali dalam ingatannya. Ia tidak dapat memusatkan pikirannya, dan itu mengganggu perbualan dengan kawan-kawannya. Sebentar-sebentar ia bertanya "cakap ape tadi?" atau "ape diye?" dan lain-lain sebagainya.
BAGIAN KEENAM-BELAS
Malam sudah pukul 8.30. Zainal tiba kembali di rumah Wagiman dengan sebuah teksi. Kepada isterinya dikatakan ia mau minum-minum kopi di sebuah warung tidak berapa jauh dari rumahnya. Isterinya, Rafiah, tidak mencurigakan apa-apa, sebab kunci keretanya masih dipegang. Ia masih sakit hati pasal suaminya tidak pulang tadi malam. Zainal sudah memutuskan akan menghantar Mustafa ke seberang lautan. Ia tidak sampai hati melepaskan temannya itu sendirian mengharungi Selat Melaka. Mula-mula keputusan Zainal itu oleh Mustafa dianggapnya sebagai satu fait accompli, tetapi kemudian ia menyadari bahwa semua kejadian itu akibat daripada babak-babak pertemuan mereka sejak malam kemarin. "Cuba pikir habis-habis, Zainal! Kalau sesuatu terjadi terhadap dirimu, bagaimana dengan anak-anak mu nanti? Siapa yang akan mengasuh mereka?" "Memang itu semua sudah kupikirkan masak-masak sebelum keputusan ini kuambil. Aku percaya bahwa isteriku akan sanggup menjaga dan membesarkan anak-anak ku. Isteriku itu orangnya cekap dan kuat; ia malah boleh melakukan hal-hal yang seorang lelaki normal tidak sanggup melakukannya. Lagi pula, ia mempunyai saudara-mara disini. "Entahlah! Aku hanya kasihan akan anak-anak mu nanti. Perjalanan- perjalanan seperti ini bukannya mudah. Kadang-kadang sangat berbahaya." "Ah, lupakan saja akan hal itu, Mus! Setakat ini aku belum ada rencana untuk balik ke Atjèh. Aku hanya ingin menemani mu sampai ke Tanjung Balai saja. Mungkin aku akan sudah puas kalau sudah menginjak Bumi Sumatra walau hanya lima menit - sudah 13 tahun tidak kusentuhnya." Tiba-tiba dua buah sepeda motor berhenti di depan rumah Wagiman.
Zainal melihat jam tangannya yang masih pukul 9.00 itu - belum masanya untuk berangkat. Kedua pemandu sepeda motor itu masuk ke dalam, berbicara sebentar dengan empunya rumah, dan kemudian memperkenalkan diri mereka kepada Zainal dan Mustafa. Mereka datang untuk mengambil penumpang dan barang-barang yang akan dimuat ke dalam tongkang. Seperti biasa, barang-barang harus dimuat dulu sebelum penumpangnya. Zainal tidak mempunyai tas pakaian. Ketika tas pakaian Mustafa diminta untuk dikumpulkan bersama barang-barang lain, Zainal melihat ke atas Mustafa dan kedua-dua mereka saling pandang memandang dengan disaksikan oleh dua pemandu yang ternganga dan tidak mengerti. "Biarlah tas kecil ini saya bawa sendiri," ucap Mustafa kemudian. "Oh, mana boleh, bang! Kalau abang bawa sendiri, nanti orang-orang kampung yang kita lalui boleh curiga abang orang seberang, sebab mereka tidak kenal dengan kalian - apa lagi ada tas pakaian bersama. Nanti mereka lapur sama polis." Mustafa melihat kepada Zainal yang sedang menggaru-garu kepala meski tidak gatal. Tasnya tidak ada kunci; 'reslating' pun sudah rusak-rusak. Semua rencana akan buyar kalau mereka dapati ada pistol di dalam tas Mustafa. Mau beli kunci? Dimana? Semua gerai yang menjual barang-barang seperti itu sudah tutup. "Apa kalian tidak percaya sama kami? Kami jamin barang kalian tidak akan hilang. Tanya saja pak Wagiman, mana pernah hilang barang-barang milik penumpang tongkang kami!" Melihat Wagiman datang, Zainal mengisyarahkan kepada Mustafa supaya tasnya diserahkan saja. Dengan perasaan lesu dan tak acuh, Mustafa menyerahkan tasnya kepada pemandu itu. Mereka berempat berkemas- kemas dengan dua sepeda motor untuk berangkat. Sepeda motor mereka berjalan lambat-lambat menelusuri jalan-jalan kampung yang kecil dan buruk. Kadang-kadang mereka melewati gerai-gerai runcit yang masih terbuka dan warung-warung kopi. Dalam keadaan demikian, Mustafa teringat kembali kepada temannya, Saifuddin, yang melarikannya dengan Honda Kijang pada suatu malam, ketika rumahnya di Banda Atjèh hendak didatangi serdadu-serdadu Indonesia.
Setelah kira-kira 15 menit dalam perjalanan, mereka tiba di sebuah gubuk yang kosong dan agak terpencil. Kelihatannya, gubuk kecil itu khusus digunakan untuk menyembunyikan orang-orang dan menyimpan barang-barang yang akan diseludup. "Kalian duduk disini dulu, kami akan menghantar barang-barang ini. Kami akan balik lagi kira-kira pukul 10.00, setelah 15 menit," kata salah satu pemandu itu. Mereka duduk termenung memikirkan pistol di dalam tas. Perasaan bersalah menghantui pikiran Zainal; ia menyesal karena meyuruh Mustafa meyerahkan tas itu. Keadaan lebih mencekam lagi ketika Zainal melihat jamnya yang sudah pukul 10.10, manakala kedua pemandu itu belum juga muncul. Dalam kedinginan dan kegelapan malam, dapat terlihat di dahi kedua lelaki itu keringat dingin yang sudah mulai mengalir. "Zainal!" Mustafa berbisik kepada temannya. "Kalau mereka datang dengan polis nanti, bagaimana ya? Atau datang menodong kita dengan pistol kita sendiri?" Zainal diam saja. Ia tidak menjawab. Keringat dinginnya bertambah bercucuran.
Matanya tidak dipindah pindahkan daripada jam tangannya, yang sekarang sudah pukul 10.20. "Celaka betul, sudah 20 menit terlambat!" Perasaan Zainal meledak. "Tak mungkin mereka melapur kepada polis, mereka sendiri akan kena juga. Tetapi...Kalau mereka mengira kita banyak duit, mungkin kita akan ditodong," keluh Zainal lagi. "Tolong buka jendelanya lebar-lebar, Mus! Kalau ada apa-apa nanti, kita terus melompat keluar," bisik Zainal lagi. Itu semua salah ku. Kenapa kubiarkan tas mu diambil? Persetan! Kita musti menjaga-jaga, Mus! Apa pun mungkin terjadi!" "Ssst...Ssst...! Itu mereka sudah datang. Jaga-jaga, Zainal. Perhatikan cara mereka berjalan; lihat berapa orang yang datang, dan ada apa di tangan mereka!" "Minta maaf, bang! Kami lambat sedikit. Soalnya banyak sekali barang-barang yang musti dimuat." Kata seorang pemandu dengan suara lembut. Dalam masa 10 menit mereka sudah tiba di tepi pantai. Zainal dan Mustafa membuka kasut dan mengangkat paha seluarnya untuk melangkah ke dalam sampan kecil, yang akan membawa mereka ke dalam sampan yang lebih besar lagi yang berlabuh kira-kira 50 meter dari tepi pantai. Malamnya kelam kendatipun ditaburi oleh berjuta-juta bintang nun di angkasa. Keadaan laut di Selat Melaka sejak minggu lalu memang agak teduh dan tenang meski tidak setenang pikiran Zainal. Zainal percaya kepada hakikat yang berlawanan; ia percaya bahwa di balik susah itu ada senang, dan di balik tenang itu tentu saja akan datang badai.
Zainal dan Mustafa melangkah dengan berat tetapi pasti kedalam tongkang yang akan menghantar mereka ke seberang. Mereka terus melangkah menuju buritan, ke tempat yang lebih tinggi agar lebih terang ketika mengamati lampu-lampu sampan nelayan kecil yang sedang memancing ikan. Tongkang mulai bergerak perlahan setelah mesinnya dihidupkan. Sekali-sekali, perahunya disoroti oleh lampu suar Pelabuhan Kelang yang pancaran sinarnya begitu terang dan menerangi kegelapan malam. Walaupun tongkangnya masih terapung dan diombang-ambing ombak yang tidak berapa besar itu, namun kedua lelaki yang duduk di buritan telah karam ke dalam pikiran masing-masing. Mustafa terkenang kembali kepada cerita penghubung tentang dua orang Atjèh yang hilang ketika hendak menyeberang ke Malaysia; ia teringat lagi kepada mayat-mayat saudaranya yang terapung di sungai-sungai Atjèh yang muaranya mengalir ke Selat Melaka. "Puluhan ribu telah terbunuh, berapa banyak yang terkubur disini?" Mustafa termenung dan bertanya-tanya pada dirinya. Tanpa disadari, air matanya keluar. Ia tidak dapat menikmati lagi keindahan malam yang penuh dengan bintang-bintang itu. Sebagaimana temannya, Zainal juga sedang tenggelam dalam kenangannya kepada anak-isteri di rumah dan keluarganya di kampung. Pikirannya sudah terbagi dua. Tak menentu. Dari buritan tongkang ia berdiri dan melangkah ke bawah, merebahkan dirinya ke lantai, tidur terlintang memperhatikan bulan sabit yang usianya baru empat hari, yang dikerumuni bintang-bintang, ia bergumam dan dari mulutnya keluar satu kalimat yang tidak asing lagi bagi pembaca novel ini: 'Bon Sang Neu Peut Mentir'!
TAMMAT
--------------------------------------------------------------------------------
#############################
Comments
Post a Comment